Minggu, 31 Agustus 2008

Mengenal Psikoanalisa Lacanian

Konsep ketidaksadaran mengetuk-ngetuk pintu psikologi meminta izin masuk. Sementara filsafat dan sastra telah lama bergelut dengannya, namun ilmu pengetahuan tidak tahu kegunaannya.
(Freud)1

Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Layaknya aliran besar lainnya, marxisme contohnya, psikoanalisa telah merambah berbagai sektor keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian. Psikoanalisa awalnya identik dengan nama pendirinya, Sigmund Freud, sehingga penggunaan istilah psikoanalisa dan psikoanalisa Freud mulanya memiliki arti yang sama. Bahkan beberapa murid Freud yang beralih dari ajaran gurunya memilih untuk meninggalkan istilah psikoanalisa, seperti Carl Gustav Jung yang mememilih menggunakan nama psikologi analitis (analytical psychology) dan Alfred Adler dengan istilah psikologi individual (individual psychology). Seiring meluasnya penerimaan psikoanalisa dalam ruang keilmuan yang beragam, istilah tersebut akhirnya tidak hanya identik dengan Freud sebagai pendiri2.

Kelahiran sendiri psikoanalisa tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan. Kalimat testimonial Freud di awal artikel ini mengindikasikan penolakan yang kuat terhadap psikoanalisa, bahkan oleh psikologi yang sebenarnya memiliki kesamaan kajian dengan psikoanalisa ―psike manusia. Bahkan Eysenck, seorang psikolog behavioris di London yang berasal dari Jerman, menganggap sangat tidak mungkin memberikan predikat ilmiah bagi psikoanalisa karena tidak bersifat behavioristik.3 Penerimaan serta penolakan dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat akibat peliknya pembacaan atas kompleksitas manusia. Pembacaan atas manusia memang tidak pernah akan berakhir. Sejak perkembangan filsafat pada zaman Yunani kuno sampai era paska-modern (post-modern) pembicaraan tentang manusia masih selalu menyisakan ruang perdebatan. Manusia dapat dianalogikan sebagai teka-teki silang yang terdiri dari beberapa kotak kosong yang menyusunnya. Setiap deret kotak dapat diisi oleh pelbagai nama dan teori guna menjawab pertanyaan seputar manusia. Tapi teka-teki silang itu tidak pernah selesai dikerjakan, selalu menyisakan pertanyaan.

Soal adanya ketidaksadaran adalah yang paling kontroversial dari Freud. Sejak pertama kali diutarakan, penolakan untuk konsep yang asing di tengah kepercayaan kemandirian manusia sebagai mahluk yang sadar ini terus bergulir[1]4. Penolakan tersebut dapat dimaklumi tentunya, karena sangat terkait konstruksi epistimologis keilmuan modern yang bercokol kuat pada benak para saintis dan filsuf di era kelahiran psikoanalisa. Ketidaksadaran adalah kemustahilan di tengah keyakinan akan penuhnya kesadaran manusia sebagai mahluk yang berpikir. Freud yang mencurigai kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat libidinal yang berasal dari ruang ketidaksadaran, sempat menjadi buah bibir dan cemoohan. Hasrat memang sesuatu yang sering disingkirkan dalam pembicaraan filsafat dan pemikiran Barat. Plato menyebutnya sebagai sesuatu yang harus dikontrol ketat oleh akal karena tidak memiliki prinsip untuk mengatur dirinya sendiri[2]. Adagium Descartes Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada) merupakan puncak pernyataan epistimologis pencerahan (aϋfklarung) yang menolak kekuasaan hasrat dan ketidaksadaran (atau juga pseudo-kesadaran) atas manusia yang sadar[3]. Seperti Plato, dalam anggitan Descartes akal merupakan substansi. Subjek cartesian meyakini manusia sebagai yang awas, sadar diri, rasional yang berangkat dari akal murni dan bukan hasrat atau bentuk-bentuk lain dari ketidaksadaran. Konsep ketidaksadaran dalam psikoanalisa menjadi pukulan telak ke inti subjek cartesian. Subjek cartesian yang ditahbiskan sebagai yang rasional dan bersandar pada akal murni dicurigai menyimpan hasrat libidinal dari dalam ruang bawah sadarnya. Hasrat ini tidak lain terlahir pada proses psikodinamis manusia[4]. Freud saat itu seperti menjanjikan sebuah cara pandang baru untuk melihat ketidaksadaran dan hasrat yang dalam pandangan sebelumnya terus dinyatakan terkontrol oleh akal-rasio manusia yang sadar. Psikoanalisa hadir untuk menyatakan bahwa hasrat yang berdiam dalam ketidaksadaran merupakan kekuatan yang mengontrol manusia yang mentahbiskan diri sebagai yang sadar dengan kekuatan akalnya. Kehadiran psikoanalisa tidak sebatas menghantam pandangan yang telah berkembang tentang psike (psyche) manusia pada ruang psikologi, tapi lebih jauh menghantam rasionalisme yang telah sekian lama diamini oleh para ilmuan dan filsuf.

Penolakan terhadap ide ketidaksadaran Freud tidak hanya muncul dari kelompok rasionalis melainkan juga datang dari para penggiat eksperimentalis (empirisme). Bagaimanapun, sungguh akan cukup sulit membuktikan adanya id (ketidaksadaran) pada manusia secara empirik. Hal ini yang memungkinkan Eysenck dengan begitu tajam menyerang Freud. Penolakan Eysenck atas psikoanalisa sebagai sebuah ilmu dengan alasan karena sifatnya yang tidak behavioristik, berarti ―setidaknya dalam pandangan behavioris ekstrem yang cenderung hanya mengamati sesuatu yang tampak sebagai perilaku― bahwa ketidaksadaran yang diusung oleh psikoanalisa merupakan sesuatu yang tidak tampak dan tidak teruji secara emprik. Sementara orientasi keilmuan umumnya merupakan orientasi pada dunia empiris[5].

Pada pembacaan lain atas Freud selanjutnya, para pembaca menunjukkan bahwa psikoanalisa Freudian telah ingkar pada janji sebelumnya untuk mengungkap kekuatan dan dorongan ketidaksadaran dalam diri manusia. Adagium Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana ada id selalu ego berpatroli) menunjukkan bahwa Freud gagal mewujudkan janji psikoanalisa. Ego yang sadar dalam konsep Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran (id) tetap terkontrol dalam pengawasan ego yang sadar. Freud dituduh oleh beberapa pembacanya tengah ikut dalam pemujaan ego cartesian. Di sinilah ambiguitas Freud terungkap ke permukaan.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisa telah memberikan sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu, termasuk psikologi sendiri yang akhirnya menerima psikoanalisa. Pembacaan atas psikoanalisa Freudian pun telah ikut melahirkan berbagai teori dan pendekatan baru pada berbagai bidang ilmu yang dengan tangan terbuka maupun setengah-setengah menerima kehadirannya. Psikoanalisa kini telah lebih bisa diterima sebagai sebuah cara pandang baru tentang manusia bagi berbagai ilmu, meski masih menyisakan kontroversi. Pembacaan terhadap Freud pun serasa tidak pernah berhenti. Prinsip-prinsip psikoanalisa yang dibangunnya terus menjadi perhatian tidak hanya dari kelompok psikolog atau psikoanalis sendiri. Kritik, pengungkapan dan pembaharuan pandangan terhadap karya-karya Freud terus dilakukan oleh para saintis dan filsuf. Harus diakui bahwa Freud merupakan salah satu inspirator penting dalam perkembangan paradigma ilmu sekarang.

Salah satu pembaca Freud yang tekun adalah Jaques Lacan, seorang psikoanalis asal Perancis. Di tangan Lacan, psikoanalisa Freud berkembang menjadi aliran psikoanalisa baru yang sangat mengagumkan. Dengan semangat “Kembali pada Psikoanalisa”, Lacan memasukkan enersi linguistik struturalisme, beberapa gagasan dari antropologi dan filsafat ke dalam psikoanalisa. Lacan sering dikenal sebagai sintesa Freud dan Saussure dengan sedikit sentuhan Lévi Strauss, Heidegger dan Jaques Derrida. Persentuhan pelbagai pemikiran dan aliran keilmuan inilah yang akhirnya membuat karya Lacan dikenal sebagai pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari. Selain itu, kegemaran Lacan menggunakan idiom-idiom asing dan baru untuk memperkuat psikoanalisa yang dikembangkannya lebih memperumit upaya untuk mendekati pemikirannya[6].

Seperti penolakan terhadap psikoanalisa Freud pada awal kemunculannya, Lacan juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Penerimaan atas psikoanalisa lacanian di dunia psikologi terasa sangat terlambat. Sementara cultural studies ―cukup sulit untuk menemukan padanan kata ini dalam penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sosiologi paskamodernisme dan filsafat telah banyak mengambil manfaat dari pemikiran Lacan, dunia psikologi masih sering bungkam, belum mengambil sikap terbuka terhadap aliran psikoanalisa ini.

Tulisan ini lebih merupakan sebuah introduksi seputar psikoanalisa Lacan yang tentu sangat jauh dari memadai untuk memaparkan luas dan rumitnya pemikiran Lacan. Dalam tulisan ini diungkap sekelumit pandangan Lacan tentang ketidaksadaran dan sebuah contoh pembacaan ala lacanian tentang fenomena konsumerisme yang tengah aktual kini. Sebagai introduksi tulisan ini merupakan sebuah ajakan. Seruan untuk membuka pintu, mempersilahkan Lacan secara lebih bebas masuk ke ruang obrolan keseharian psikologi sebagai pemerkaya.

Jaques Lacan: sebuah Pembacaan

Kemunculan psikoanalisa merupakan hantaman kedua bagi kemapanan rasionalisme dan humanisme keilmuan barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subyek. Setelah Nietzsche mencurigai kenginan subyek yang rasional ala cartesian dipenuhi hasrat akan kekuasaan, psikoanalisa menyatakan keterhubungan antara kesadaran dengan ruang ketidaksadaran yang tidak tertundukkan. Psikoanalisa secara telak memukul inti kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cogitan.

Freud membangun konsep topografi kepribadian manusia yang terbelah menjadi dua ruang; kesadaran dan ketidaksadaran. Ruang kesadaran adalah ruang yang terapung-apung di atas ruang ketidaksadaran. Pengaruh ruang ketidaksadaran akan selalu mucul secara tidak dinyana dan disadari ―bahkan― oleh kesadaran subyek. Ketidaksadaran merupakan buah dari kompleksitas konflik psikis yang terjadi pada masa perkembangan perversitas polimorfosis bayi. Pada perkembangannya kemudian, Freud sedikit berbelok dari anggitan pertamanya. Berharap dapat mengurangi represi, Freud mendeklarasikan Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana Id, disana ada ego) yang berarti kemenangan ego (kesadaran) atas id. Ego yang terdiri dari identitas diri dan kedirian yang rasional akan senantiasa mengantisipasi kemunculan id dan menggantikannya saat muncul ke permukaan. Di titik inilah Freud didera banyak cemoohan dan kritik.

Jaques Lacan merupakan salah satu pembaca Freud yang secara tegas menolak anggitan Freud tentang berkuasanya ego atas id. Lacan merupakan seorang psikoanalis kebangsaan Perancis yang begitu berminat pada ide-ide Freud muda ―Freud yang dianggap masih memiliki tenaga untuk mempertahankan kekuatan ketidaksadaran sebagai faktor pendorong kepribadian. Bagi Lacan, kontrol ego atas id adalah sesuatu yang mustahil. Bagaimanapun, ego merupakan sebuah produk jadi dari id yang terbentuk melalui mekanisme kesalahan mengenali (méconaît) diri di hadapan cermin pada sebuah fase yang disebut fase cermin (statu de miroir). Ego adalah ilusi atau pseudo-identitas[7]. Stadu de miroir merupakan fase yang pada akhirnya menentukan keseluruhan identifikasi dalam diri manusia. Keseluruhan eksistensi manusia, menurut Lacan, mau atau tidak, dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran[8]. Itulah jantung pemikiran Lacan.

Ketidaksadaran terstruktur seperti halnya bahasa. Itulah sisi lain pemikiran Lacan. Ia menekankan arti pentingnya bahasa dalam pelbagai hubungan kesadaran dan ketidaksadaran. Penekanan tersebut merupakan hasil dari pembacaan Lacan atas prinsip-prinsip psikoanalisa freudian dan tidak terlepas pula dari pengaruh aliran surealisme dalam dunia kesenian. Bagi seorang surealis, suatu gambaran simbolik (lambang-tanda) dapat saja merujuk makna yang plural, atau mewakili beberapa makna yang berbeda. Pengertian ini sering direpresentasikan dalam karya-karya surealistik yang memperlambangkan makna tertentu dengan simbol-simbol berbeda. Pada bentuk lainnya, surealisme sering menghadirkan beberapa simbol yang tidak sinkron dalam kesatuan pembentukan makna. Sementara, kesadaran bagi Freud, terstruktur oleh bahasa dan tanda-tanda yang didiami oleh ketidaksadaran[9]. Analisa yang dilakukan oleh Freud selama praktik psikoanalisanya menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menunjukkan secara langsung problem psikisnya, melainkan dengan memainkan simbol-simbol penuturan bahasa. Penceritaan oleh pasien yang merupakan lambang dalam bahasa harus dianalisa untuk menemukan bentuk trauma sebenarnya. Interpretation of Dream, sebuah karya monumental Freud juga mendemonstrasikan penafsiran lambang tersebut. Mimpi adalah bentuk perlambangan yang diyakini sinkron dan terhubung dengan beberapa kenyataan dalam hidup pasien. Makna mimpi adalah trauma yang kembali atau sebuah pemenuhan atas yang tidak tercukupi ―setidaknya secara psikis. Kembalinya trauma-trauma dan ketidakcukupan tersebut tidak secara langsung bersifat naratif, melainkan dengan membentuk suatu konfigurasi perlambangan. Makna mimpi selalu diwujudkan dalam simbol-simbol, titik. Namun, makna bagi Freud maupun Lacan bersifat tidak tetap dan bergantung pada penggunaan individual dan kultural. Hal ini bertolak belakang dengan Jung yang menyatakan bahwa makna senantiasa bersifat statis.

Berangkat dari pembacaan atas Freud tersebut, Lacan meyakini bahwa psikoanalisa harus dapat menjadi semacam ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif mempergunakan bahasa dalam analisisnya. Di sinilah Lacan tidak hanya menarik linguistik ke dalam ruang psikoanalisa, tetapi juga membangun sebuah sintesa psikoanalisa-semiotika. Dalam kamus psikoanalisa Freudian terdapat pula beberapa contoh kategori penting yang berkaitan dengan operasional bahasa dan lambang dalam keseharian, yakni lelucon, gejala-gejala, kekeliruan-keliruan hidup sehari-hari dan impian-impian. Kesemua fenomena tersebut terkait dengan permainan bahasa dan bersumber dari ruang bawah sadar.

Lacan menekankan pentingnya pamahaman “fungsi kata” yang dalam kondisi psikoanalitik dikenal dengan istilah treatment. Penjelajahan fungsi kata diyakini dapat membawa kita ke dalam penjelasan bagaimana ketidaksadaran terbentuk dan terus beroperasi. Dalam menjelaskan fungsi kata tersebut Lacan menggunakan istilah subyek[10] (segala tentang pribadi/aku) dan penanda (signifier) yang ―dalam makna lacanian― berarti kata itu sendiri. Penanda[11] merupakan perwalian dari subyek untuk berkomunikasi, mengungkapkan diri dan bermimpi. Keduanya (subyek dan penanda) dalam kosa kata lacanian mengandung makna yang beroposisi secara biner (binary opposition). Semboyan Lacan “kembali pada penanda” bermakna ajakan kembali pada pembicaraan tentang ruang ketidaksadaran.

Untuk menjelajahi hubungan antara subyek, tanda dan makna, Lacan banyak terinspirasi semiologi[12] strukturalis Sassurean, meski dengan melakukan beberapa modifikasi dan penyesuaian. Berbeda dengan Saussure, Lacan hanya berfokuskan pada hubungan di antara penanda-penanda itu sendiri. Bagi Lacan, tidak ada yang dirujuk oleh penanda, atau penanda tidak merujuk pada suatu konsep apapun selain dirinya itu sendiri. Relasi penanda (signifier) merupakan relasi negatif yang berarti suatu penanda adalah penanda bagi dirinya sendiri bukan pada yang lain. Relasi tersebut juga merupakan relasi yang tidak terhenti. Inilah bentuk operasional ketaksadaran dimana akan selalu terjadi pengulangan, pergeseran dan sirkulasi yang tidak henti dalam sistemnya. Ketidaksadaran adalah bentuk yang tidak memiliki titik pemberhentian, titik. Berangkat dari anggitan relasi negatif antar penanda, bagi Lacan, menjadi dewasa berarti berupaya menghentikan gerak relasional antar penanda tersebut agar ―setidaknya― relasi tersebut menjadi lebih stabil. Namun sekali lagi kestabilan merupakan bayang-bayang atau pseudo-kestabilan. Ego yang dianggap telah mampu melakukan stabilisasi hubungan relasional antar penanda tetaplah ilusi, buah karya ketidaksadaran, mispersepsi dalam tahapan cermin saat manusia masih berupa seonggok daging yang bernama bayi ―infant; enfans = belum bersuara[13]. Karena proyek pengenalan diri dalam ego menghasilkan sesuatu yang ilutif tentang konsep diri ―ego ideal, maka segala bentuk upaya memberhentikan relasi penanda oleh sistem ilutif tersebut akan hanya menghasilkan ilusi-ilusi baru yang dirasa sebagai kestabilan.

Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan perversitas polimorfosis saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa ―seperti halnya pada pandangan Freud― yang berkaitan dengan relasi bayi dan ibu. Dalam psikoanalisa Freudian, seorang bayi mengalami tiga fase perkembangan perversitas polimorfosis, yakni oral, anal dan phalik. Ketiga fase tersebut merupakan lintasan menuju fase genital yang merupakan fase akhir yang identik dengan fase kedewasaan. Dalam ketiga fase itu pula terjadi berbagai ketegangan psikis seperti kompleks oedipus dan kompleks kastrasi sebagai bentuk formasi penyesuaian serta upaya mengkomunikasikan kebutuhan dan upaya pemenuhannya. Tahap genital adalah tahapan berakhirnya kateksis-kateksis narsistik yang beroperasi pada masa pragenital. Kateksis-kateksis narsistik yang beroperasi pada fase pra-genital berarti manipulasi dan stimulasi individu pada tubuhnya sendiri demi kepuasan tertentu. Sedang pada fase genital hasrat narsistik tersebut mulai mengalir ke arah yang sebenarnya. Di dorong oleh motif-motif altruistik yang bukan semata “cinta diri”, orang dewasa akhirnya mengarahkan cinta pada obyek yang tepat dan sebenarnya, yakni orang lain[14]. Lacan memiliki penjelasan lintasan perkembangan perversitas pilimorfosis yang berbeda dengan Freud, ia mempertemukan konsep kebutuhan―permintaan―hasrat (need-demand-desire) dengan lintasan fase Yang Real―Yang Imajiner―Yang simbolik. Pada penjelasan kesemua istilah tersebut bahasa memperoleh tempat yang cukup dominan.

Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi manusia, kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat ―terutama ibu― akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan. Bayi bagi Freud dan Lacan adalah manusia ―ekstremnya seonggok daging― yang belum terbentuk menjadi individu atau tanpa pemahaman akan dirinya sebagai manusia yang utuh dan terlepas dari yang lain. Yang berdiam dalam bayi hanyalah kebutuhan dan segala pemenuhannya. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam Yang Real yang merupakan “fase sebelum pikiran”[15]. Bahasa tidak pernah ada di ruang ini karena tidak ada kehilangan, kekurangan dan ketidaan. Yang ada hanya kepenuhan, titik. Masuknya bahasa adalah keterpecahan bayi. Bayi yang awalnya hanyalah seonggok daging dan tidak mengerti apa-apa, seperti mendapat kutukan, masuk ke dalam dunia yang telah terlebih dahulu dipenuhi oleh bahasa ―atau dalam pengertian yang sama dapat digunakan istilah diskursus (discourse); yang simbolik. Bayi yang tidak mengerti apa-apa tersebut, oleh manusia dewasa, diberi identitas sebagai manusia. Menggunakan bahasa berarti kehilangan segala sifat kepenuhan, inilah titik awal keterpecahan.

Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya ―meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan― bayi mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand). Istilah permintaan dalam kosa kata Lacanian memang cukup rumit untuk dipahami dan dijelaskan. Permintaan adalah adalah sesuatu yang tidak dapat ―atau tidak mungkin― terpenuhi. Saat mulai menyadari akan adanya liyan yang terpisah dari dirinya, bayi seperti ingin kembali kepada keutuhan sebelumnya. Bayi ingin segala tentang yang liyan menghilang. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase Yang Imanjiner. Fase Yang imajiner tetaplah berada pada titik pra-bahasa dan dikendalikan oleh logika visual bayi.

Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (stadu de miroir). Bayi suatu ketika akan menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan[16]”, tidak setara dengan ―bahkan bukan― aku yang sebenarnya.

Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi. Aleniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah[17]. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri atau terceburnya bayi ke dalam citra yang salah atau ego ideal. Dalam Yang Imajiner bayi terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan menggunakan citra yang diperoleh dari cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness) semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra cerminal adalah “aku”. Di sinilah, bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan.

Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang Keliyanan, tataran Yang simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadi akuisisi bahasa. Yang simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku dinyatakan melalui bahasa. Tidak seperti alur perkembangan pervesitas polimorfosis freudian yang runtut, Yang Imajiner dan Yang simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpah tindih, saling bermunculan dan koeksis. Di dalam tataran yang simbolik, di sanalah hasrat (desire) berdiam.

Perpisahan dari ibu adalah yang mutlak bagi bayi untuk masuk ke dalam sebuah kebudayaan. Namun perpisahan tersebut menyisakan rasa kehilangan kehilangan yang akan terus bersirkulasi. Ibu merupakan obyek kehilangan yang pertama dan utama bagi bayi. Inilah berbeda dari Freud, ayah yang meretakkan bayi dan ibu dinilai Lacan bukanlah sebagai ayah biologis, melainkan ayah simbolik atau hukum atas―nama―ayah (nom-du-pere / name—of—the—father). Ayah simbolik dapat berupa apapun yang menghalangi atau memisahkan bayi dari ibu. Lacan memang sangat terpengaruh oleh Roman Jakobson. Karena itulah ia menyerupakan kondensasi dan pemindahan ala Freudian dengan konsep metafor dan metonimi[18]. Untuk itu, sering kali pembacaan atas konsep Lacan harus menggunakan kedua pendekatan linguistik tersebut. Makna ibu dan hubungan dengan ayah penting untuk ditelisik melalui pendekatan metaforis. Kedudukan ibu juga kedudukan yang feminin cenderung menjadi kedudukan Yang Real, sementara ayah akan membangkitkan Yang Simbolik. Bersatunya ibu dan bayi akan memperlambat perkembangan bahasa, yang berarti keterlambatan memasuki tataran Yang simbolik. Ayahlah yang berperan memutuskan kelekatan dan penyatuan bayi dari ibu agar masuk dalam dunia bahasa —Yang Simbolik. Fungsi metaforis sangat kental dalam alur pemikiran Lacan. Bahkan istilah “cermin” dalam Yang Imajiner juga memiliki fungsi metaforis, yakni “pandangan ibu” yang membuat bayi berkeyakinan bahwa ibu sedang memandang yang lain, yakni bayi itu sendiri. saat itulah bayi mulai merasa adanya keterpisahan ibu dan dirinya.

Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika tercebur ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Penanda, intinya beroperasi secara negatif. Sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Artinya, penanda beroperasi dengan hukum perbedaan. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya ibu —sebagai petanda— melainkan secara berbeda menunjuk adanya ayah. Karena ketundukan pada rotasi dan permainan penandaan inilah, mencapai identitas akan kembali menjadi mustahil. Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini. Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.

Bentuk lain dari hasrat adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan. Hasrat ini berarti hasrat kembali pada Yang Real, yang telah menghilang saat akuisisi bahasa. Hasrat untuk kembali pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.

Kekurangan (lack) adalah ibu kandung dari hasrat. Secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia seperti merupakan ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi. Dalam bahasa Lacan, tidak mungkin kembali pada yang Real. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam tataran yang real, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

[1] Bagi Freud terdapat dua alasan kuat atas penolakan atas cara pandang psikoanalisis, yakni kesulitan menerima pandangan atas adanya determinisme ketat dan menyeluruh dalam hidup psikis dan ketidaktahuan sebagian besar orang tentang sifat-sifat khusus yang membedakan proses-proses psikis tidak sadar dengan pelbagai proses sadar yang terbiasa dalam kehidupan manusia. Lihat Ceramah Ke lima Freud dalam Psikoanalisis Sigmund Freud. Terj Karl Bertens. Gramedia Pustaka: 2006. Hal 96

[2] Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta. Bulan Bintang: 1984. hal 78

[3] Menghadapi adagium cartesian, Lacan menyatakan “Je ne suis pas, lá où je suis le jouet de ma pensee; je pense à ce que je suis, là où je ne pense pas penser.” (I am not, there where I am the plaything of my tought; I think about what I am, there where I do not think that I am thingking). Subjek Cogito yang sadar bagi Lacan di dorong oleh ruang ketidaksadaran yang dapat saja berkata “aku berpikir” atau “aku..”. Lihat Jaques Lacan. The Language of the Self , the Fuction of Language in Psychoanalisys. Dalam komentar penerjemah oleh Anthoni Wilden. New York. Delta Book: 1968. hal 183

[4] Cogito merujuk pada ego yang disebut oleh Lacan sebagai “false being”. Lihat Bruce Fink, The Lacanian Subject, Between Language and Jouissance. New Jersey. Priceton University. Hal 42-44.

[5] Jujun S. Suriamantri, Ilmu dalam Perpektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, cet ke xvi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: 2003. hal 6. Lihat pula Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta. Bulan Bintang: 1984. hal 234.

[6] Hal tersebut dipersulit dengan sikap Lacan yang tidak tertarik menuliskan pemikirannya. Beberapa ceramah ilmiah Lacan baru diterbitkan setelah kematiannya, selebihnya sebatas catatan-catatan tidak resmi dari seminar-seminarnya. Lacan mencela publikasi dengan menyebutnya sebagai poubellication (bahasa perancis), dari kata poubelle yang berarti keranjang sampah. Lihat Philip Hill, Lacan Untuk Pemula, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta. Kanisius: 2002. hal 7

[7] Lihat Antony Wilden,.. Hal 159-160.

[8] Bruce Fink,..hal 36-37

[9] Muhammad Alfayyadl. Derrida, Cet ke-2 .Yogyakarta, LKiS. 2006. hal 123

[10] Dalam seminar ke XXIII Lacan menyebutkan bahwa subjek bukanlah seperti yang dikira. Artinya subyek tidak pernah lebih dari sekedar asumsi dalam diri kita. Subjek bukan merupakan sesuatu yang kita sebut sebagai subjek yang sadar seperti yang berkembang dalam filosofi Anglo-Amerika. Lacan menggunakan lambang “S” dengan palang yang melintang ditengahnya ($) untuk menyebut subjek yang menunjukkan bahwa subjek senantiasa dalam kondisi terbelah. Artinya, selalu ada yang menghalangi subyek untuk mencapai apa yang dikehendaki atau menjadi utuh. Lihat Bruce Fink,..hal 35. Lihat pula Philip hal,..hal 33

[11] Istilah tanda (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified) kesemuanya merupakan istilah yang terlahir dan berkembang di ranah semiotika. Tanda dalam pandangan strukturalisme Saussurean merupakan entitas psikolgis yang bersisi-dua, terdiri dari unsur penanda (berupa citra atau bunyi) dan petanda (“sesuatu yang ditandai” atau sebuah konsep). Kedua elemen tersebut menyatu dan saling bergantung satu sama lain. Kombinasi keduanya (antara penanda dan petanda) inilah yang kemudian menghasilkan sebuah tanda. Penanda merupakan aspek sensoris dari tanda-tanda, yang dalam bahasa lisan berwujud citra bunyi atau citra akustik yang berkaitan dengan konsep (petanda) tertentu. Substansinya senantiasa bersifat material seperti bunyi, objek-objek, tulisan, dll. Sedikit berbeda dengan konsep Saussure tersebut, Lacan, sebagaimana Roland Barthes, menolak anggitan relasi antara penanda dan petanda. Bagi keduanya penanda beroperasi secara bebas. Dalam kosakata Lacan penanda berarti kata atau lambang. Lihat Lihat Kris Budiman. Kosa Semiotika. Yogyakarta. LKiS, 2006. hal 115 dan 93

[12] Istilah semiologi merupakan istilah yang digunakan oleh Fendinand De Saussure untuk menunjuk sebuah ilmu umum tentang tanda. Dalam definisi Saussure semiologi merupakan ilmu yang secara khusus mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat, dengan demikian menjadi sebuah bagian dari psikologi sosial. Namun pada perkembangannya, penggunaan istilah semiologi semakin jarang digunakan, digantikan oleh istilah semiotika yang lebih populer. Istilah ini tetap oleh tokoh-tokoh tertentu di Perancis yang ingin membedakan bentuk pemikiran mereka dengan pemikiran semiotika yang berkembang di Amerika dan Italia. Ibid. hal 107-108

[13] Lihat penjelasan istilah ini dalam Jhon Lechte. 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj Gunawan Admiranto. Yogyakarta. Kanisius, 2001. hal 115.

[14] Calvin, S. Hall dan Gardner Lindzey. Teori-teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus. Yogyakarta. Kanisius, 1993. hal 90-96

[15] Bruce Fink,..hal 25

[16] Lacan mempergunakan kata liyan (other) dalam berbagai bentuk yang berbeda yang mempersulit pemahaman atas makna kata tersebut. Cara termudah memahami liyan adalah sesuatu yang selain aku. Tapi dalam tahapan cermin liyan dapat menjadi aku. Liyan adalah aku. Citra dalam cermin bagaimanapun adalah selain aku yang diintrodusir sebagai aku. Liyan sebagai aku disebut liyan (dengan huruf Lacan kecil ―other) yang berbeda dengan Liyan (dengan huruf l besar―Other) yang berarti liyan-liyan selain “aku” yang liyan. Liyan (L―mOther) dapat berarti ibu, ayah atau liyan-liyan lain yang eksis di luar liyan.

[17] Bruce Fink,..49-50

[18] Metafora dalam pandangan Roman Jakobson berarti segala yang mengacu pada penggantian kata yang harfiah dengan kata lain yang figuratif. Penggantian kata secara metaforis lebih bersifat analogis. Metonimi merupakan pertautan kata per kata. Penggantian metonimik dapat terjadi berdasarkan hubungan asosiatif antara kata yang harfiah dengan penggantinya. Hal-hal yang berhubungan secara logis (sebab akibat-kausalitas), keseluruhan dan bagian, atau yang dapat diketemukan dalam konteksnya yang familiar, kesemuanya membangun hubungan yang metonimik antara satu dengan yang lainnya. Lihat Kris Budiman,..hal 73-74.

Tidak ada komentar: