Sabtu, 30 Agustus 2008

MEMBACA JAWA: STUDI ATAS INTERAKSI KEBUDAYAAN JAWA, HINDU, BUDHA SEBELUM ISLAM

Poenika sejarahipoen para ratoe ing tanah Jawi, wiwit saking nabi Adam, apepoetra Sis. Esis apepoetra Noertjahja. Nurtjahjo apepoetra Noerasa. Noerasa apepoetra Sahyang Wening. Sahyang Wening apepoetra Sanhyang Toenggal. Sahyang Toenggal apepoetra gangsal, anama batara Sambo, batara Brama, batara Maha-Dewa, batara Wisnoe, dewi Sri. Batara Wisnu waoe djomeneng ratoe wonten ing poeloe Jawi, adjedjoeloek praboe Set. Kedatonipun batara Goeroe anama ing Soera-Laja1.

Dalam pengantar buku Etika Jawa, Frans Magnis Suseno memberikan sebuah interpretasi pengantar yang cukup menarik diperhatikan berkenaan dengan kebudayaan Jawa. Jawa dinilai sebagai sebuah yang memiliki kekokohan untuk menjadikannya tetap eksis. Kedatangan agama Budha ke dalam kebudayaan Jawa tidak menciptakan Jawa yang Budha. Masuknya agama Hindu juga tidak mampu menciptakan Jawa yang Hindu. Begitupun Islam, betapa luasnya pengaruh agama ini, terlebih paska kemunduran dan kehancuran kerajaan Majapahit yang ditandai dengan kebangkitan Demak, tidak mampu menciptakan Jawa yang Islam. Yang terbentuk dari semua persentuhan agama-agama tersebut adalah Budha, Hindu dan Islam yang Jawa, bukan sebaliknya.
Nukilan paragraph pembuka Serat Babad Tanah Jawi di atas juga menunjukkan betapa Jawa merupakan sebuah kebudayaan yang memiliki heterogenitas unsur yang cukup kompleks. Jawa telah mengalami dua mutasi —meminjam istilah Lombard— kebudayaan dalam struktur masyarakatnya; mutasi kebudayaan bersama datangnya Hindu dan Budha —indianisasi— serta mutasi yang terjadi dalam persentuhannya dengan Islam. Term mutasi secara implisit mengilustrasikan proses internal yang dinamis dalam struktur kebudayaan Jawa. Proses yang tidak menegasi secara keseluruhan pelbagai unsur-unsur yang datang dengan tidak pula melakukan pemusnahan unsur-unsur yang sebelumnya telah ada dalam struktur sebelumnya. Mutasi mengandaikan sebuah perubahan perlahan yang membentuk satuan bagian baru dalam sebuah satuan besar kebudayaan Jawa.
Tulisan sederhana ini mencoba memaparkan sekelumit asumsi tentang relasi anasir pelbagai kepercayaan di Jawa yang membentuk sebuah keutuhan kebudayaan Jawa. Semoga dapat membantu pemahaman kita bersama dalam studi Islam dan Budaya Lokal.
Problematika Cara Pandang Terhadap Kebudayaan Jawa
Studi kebudayaan Jawa seakan telah usai paska penerbitan studi fenomenologis Clifford Geerzt, Religion of Java. Karya ini seperti menjadi ilham utama studi-studi atas Jawa setelahnya. Meski demikian, karya Geerzt belumlah selesai menelaah kompleksitas Jawa sebagai sebuah keutuhan sistem kebudayaan. Karya ini memang sempat mengisi kekosongan studi komprehensif tentang Jawa Paska penerbitan History of Java karya Sir Thomas Raffles (1917), namun sedahsyat karya ini dipuji, sehebat itu pula kritik disampaikan atas karya sang Maestro tersebut. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa religion of Java belumlah memetakan keseluruhan ruang masyarakat Jawa, masih terdapat ruang luas untuk terus membicarakan dan memperdebatkan persoalan kejawaan paska Geerzt. Apa yang menyebabkan Geerzt begitu dipuja, mengilhami para antropolog, sejarawan, dan sosiolog setelahnya yang menggeluti studi tentang Jawa? Apa pula yang telah menyebabkan karya ini menjadi problematis bagi sebagian pengamat dan ilmuan tentang Jawa? Kedua pertanyaan ini akan menghantar kita pada pembahasan tentang pelbagai cara pandang secara umum tentang kebudayaan Jawa.
Nyaris tak ada studi antropologi, sejarah dan sosiologi tentang Jawa dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang anasir agama asli maupun yang masuk dan berkembang kemudian. Dalam konteks ini, pernyataan Christoper Dawson bahwa agama adalah kunci sejarah manusia menemukan pembenaran2. Jawa yang telah bersentuhan dengan pelbagai agama telah berproses secara internal menuju sebuah bentuk yang dikenal sekarang. Pembicaraan tentang Jawa dipastikan membutuhkan ketelitian memerhatikan unsur-unsur yang tumbuh dan berkembang seperti kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Jawa diasumsikan memiliki akar kepercayaan arkhaik yang khas sebelum kedatangan agama-agama. Animisme dan dinamisme adalah sepasang kepercayaan yang kerap dilekatkan guna menjelaskan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Masuknya Hindu, Budha dan Islam mendorong terciptanya kebudayaan Jawa yang beranasir lebih kompleks. Masuknya ketiga agama tersebut kedalam masyarakat Jawa tidak serta merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan arkhaik masyarakat Jawa. Kesetiap kepercayaan meninggalkan sisa-sisa —lebih tepatnya menggunakan kata etos— dalam masyarakat, baik agama arkahik, Hindu dan Budha.
Dalam konteks studi Islam Jawa inilah, pelbagai peninggalan bentuk-bentuk keberagamaan sebelum Islam yang ada dan berkembang di Jawa menjadi problematis. Islam Jawa memiliki keunikan tersendiri tinimbang bentuk-bentuk kesilaman lain yang berkembang di wilayah lain bahkan di Jazirah Arab sebagai asal kelahirannya. Setidaknya ada dua alasan mengapa dalam studi Islam Jawa sering menjadi cukup problematis. Pertama, Penggunaan Islam di Jazirah Arab sebagai prototipe rujukan satu-satunya yang menutup interpretasi bahwa Islam sebagai sebuah agama memiliki kemungkinan berinteraksi, berkomunikasi serta berakulturasi dengan anasir kebudayaan lainnya. Kedua, cara pandang yang hanya menitikberatkan ke arah salah satu bentuk keislaman —seperti syari’ah semata atau sufisme—seperti yang dilakukan oleh Geerzt. Pandangan kedua ini seakan melihat Islam sebagai satu sisi yag final sehingga bentuk-bentuk baru yang muncul di ruang kebudayaan tertentu sulit untuk tatap dikategorikan sebagai tetap Islam.
Terma sinkretik adalah pilihan yang sebenarnya menyudutkan Islam Jawa. Terma ini terlanjur diterima dan disosialisasikan untuk menyebut keislaman kebanyakan orang Jawa. Sebagai anakannya maka muncullah istilah-istilah lain seperti “Islam KTP” dan “Islam Abangan” yang mengindikasikan betapa kurang sempurnanya keislaman orang Jawa karena kentalnya anasir Hindu, Budha serta kepercayaan arkahik mereka.
Pandangan umum tentang Jawa telah sampai pada kesimpulan bahwa Interaksi cukup kuat antar agama-agama yang masuk ke Jawa menciptakan bentuk keislaman yang tidak lagi murni dan terbebas dari unsur-unsur yang tidak Islami, atau ;lebih tepatnya tetap dipengaruhi secara dominan oleh anasir agama sebelumnya. Van Ossenbrugen memandang Jawa sebagai pengejawantahan sistem mandala3 dalam kepercayaan Hindu4. Konsep mandala mensakaralkan angka empat dan lima dengan memuncukan konsep monco-pat/mancapat5. Menggunakan perspektif Lombard, konsep ini memang dapat diklasifikasikan sebagai sebuah peninggalan esoteris yang tersisa dari kebudayaan Jawa pada mutasi pertamanya —indianisasi. Meski konsep mancapat tidak lagi dipergunakan sekarang, namun konsep tersebut tetap menjadi penanda khusus dalam kesadaran masyarakat Jawa6. Konsep mata angin tidak hanya berkaitan dengan konsepsi Dewa dengan wewenang masing-masing, melainkan juga berkaitan dengan logam, warna, hewan dan angka-angka.
Pada anggitan lain, Pigeud mengandaikan bahwa konsep petungan7 merupakan sebuah konsep propechy dalam kepercayaan Jawa yang lebih bersifat animistik8. Petungan dinilai sebagai konsep metafisika sekaligus sebagai ensiklopedia orang Jawa. Rumusan Nasib Manusia dinilai dari arah matangin atau Jenis hari9. Pada pandangan lain CC Berg melihat pandangan masyarakat Jawa merupakan peninggalan kepercayaan Hindu. Contoh yang ditekankan oleh Berg adalah konsepsi Ratu Adil yang dipercaya akan mampu membawa keluar manusia dari jerat kemelut kehidupan pada era kaliyuga10. Ratu adil adalah pilihan Sahyang Tunggal yang diturunkan untuk membebaskan manusia dari jerat kesusahan dan kemelut.
Untuk menganalisa Istilah petungan alangkah baiknya dengan memerhatikan catatan L.C Damais tentang Sadwara11 dan Pancawara12 . Damais melihat adanya ketidakterkaitan istilah ini dengan istilah sanksekerta. Damais meyakini istilah ini merupakan istilah yang asli merupakan produk kepercayaan dan kebudayaan Jawa. Kertekaitan sadwara dan pancawara dalam kosmogoni Jawa digunakan untuk menemukan keharmonisan upaya kehidupan seperti untuk menetukan waktu tanam, perjodohan, watak manusia dan nasib13.
Pada pandangan lain, Istilah petungan —termasuk sadwara dan pancawara— mungkin saja berkaitan dengan kepercayaan Berg akan adanya anasir hindu yang bertahan, terutama keyakinan akan kedatangan Ratu Adil. Dalam Pandangan G.W.J Drewes kepercayaan terhadap Ratu Adil berkaitan dengan kosmogoni india tentang Yuga. Pada era Kaliyuga akan muncul zaman yang dinamakan kalabendu (zaman malapetaka) atau yang disebut-sebut dalam serat kalathida karya raden Mas Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) sebagai zaman edan. Zaman edan merupakan zaman kebobrokan mental manusia yang menuntut adanya sebuah pembaharuan manusia dengan kedatangan ratu adil14.
Intisari dari kesekian pandangan tentang Jawa yang dilontarkan Pigeud, Ossenbrugen dan Berg ini adalah bahwa Jawa adalah bagian dari masa lalu yang beridentitas animisme, dinamisme, Hindu, Budha. Interpretasi seperti ini cenderung menjustifikasi Jawa sebagai kebudayaan yang final. Cara pandang seperti ini tidak mungkin untuk dijadikan sumber acuan utama dalam kajian kejawaan.
Pandangan lain yang cukup terkenal adalah pandangan dikotomis yang dimunculkan oleh Clifford Geerzt dalam Religion of Java yang mengkalisfikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategori besar; Santri, Abangan dan Priyayi15. Kesetiap kategori tersebut merepresentasikan peran dan pengamalan keberagamaan yang sangat berbeda. Santri adalah yang dianggap Geerzt sebagai yang paling islami dalam struktur masyarakat Jawa. Santri adalah kelompok yang mampu merepresentasikan agama secara benar berdasarkan tatanan syariah. Sementara kelompok priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih diyakini sebagaio warisan dari keagamaan Hindu dan Budha sebelum Islam. kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa —animisme. Ekstremnya, dalam tesis ini Geerzt memandang bahkan santri sebagai representasi kelompok bergama masyarakat Jawa yang paling Islami masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan kepercayaan Hindu dan Budha yang telah terlebih dahulu melekat pada kebudayaan masyarakat Jawa. Secara sekilas dapat disimpulkan bahwa Geerzt telah menilai masyarakat Jawa secara nominalis16. Kritik terbesar atas karya Geerzt disampaikan oleh Marshall Hodgson dalam the Venture of Islam. Hodgson dengan tetap memandang karya Geerzt sebagai karya penting dalam studi Asia Tenggara, mempertanyakan kesimpulan Geerzt yang cenderung meragukan keislaman masyarakat Jawa. Baginya, jika praktek masyarakat Jawa dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, mengapa Islam dengan begitu masif telah mampu merubah struktur kebudayaan masyarakat Jawa? Sikap Geerzt ini menurut Hodgson merupakan akibat dari sebuah sudut pandang yang lebih mengutamakan satu sudut pandang untuk memnadang fenomena keislaman masyarakat Jawa. Geerzt dinilai menginterpretasikan kebudayaan Jawa dengan teorama syariah minded yang menutup peluang pembacaan terhadap unsur lain seperti tasawwuf —mistik Islam17. Sarjana Barat Lain seperti Eickelman dan Roof menyuarakan pandangan yang sama tentang problem penafsiran Jawa ini; akibat kurangnya pemahaman tentang Islam18. Dalam sejarah Islam berkembang beberapa aliran pemikiran yang sama-sama tatap berada dalam koridor Islam —sufisme dan syari’ah. Baik Hodgson, Eickelman maupun Roof memandang tidak satupun aliran tersebut berhak untuk menyatakan sebagai yang paling otoritatif menyatakan keislaman, karena baik syariah dan sufisme sama-sama memiliki justifikasi dalam Islam19.
Studi fenomenologis Geerzt sebenarnya tidak mencukupi untuk digeneralisir menjadi sebuah pemahaman bahwa keseluruhan masyarakat Jawa terbelit dalam ketiga teorama tersebut. Setidaknya studi Robert Hefner yang memberikan perhatian pada masyarakat yang dianggap tidak islami di Tengger yang menemukan bukti bahwa masyarakat Tengger sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam20, atau studi Nakamura di Kotagede Yogyakarta dengan fokus keberadaan masyarakat Muhammadiyah yang menafsirkan kentalnya unsur-unsur Islam dalam sistem kepercayaaan masyarakat tersebut. Artinya studi Geerzt yang berlokasi Mojokuto dan Nakamura di Kotagede Yogyakarta memiliki kemungkinan sangat luas untuk menghasilkan pandangan dan penafsiran yang berbeda dikarenakan perbedaan cara pemahaman kejawaan dan keislaman dalam kedua masyarakat yang berbeda secara geografis.
Dalam pandangan lain, Mark Woodward dengan jelas menolak anggitan Geerzt bahwa Jawa tidaklah Islami. Bahkan bagi Woodward masyarakat Jawa merupakan pemeluk Islam yang paling kreatif menghubungkan kebudayaan dan struktur sosial terdahulunya dengan Islam sebagai unsur yang “baru” dalam sebuah struktur kebudayaan. Tradisi intelektual dan spiritual Islam di Jawa merupakan tradisi kreatif. Bagi Woodward terdapat kewajaran mengapa Islam Jawa sangat berbeda dengan keislaman Timur Tengah atau Jazirah Arab, letak geografis yang sangat menyulitkan komunikasi dan interaksi antar keduanya menyebabkan Islam di Jawa berkembang dengan model dan coraknya sendiri tanpa harus menjadikan Arab sebagai patokan dominan. Islam Jawa telah memberikan sumbangsih terhadap pemikiran tertentu kepada dunia intelektual Islam. Woodward melihat bahwa tradisi mistik Jawa memberi sumbangsih bentuk sufisme lain dengan corak berbeda dengan yang berkembang di belahan lain di Dunia Arab. Tradisi sufisme Jawa banyak berbeda dengan mainstream sufisme yang berkembang di wilayah lain. Bagi Woodward juga, kelompok santri merepresentasikan bentuk keislaman yang cukup kuat dengan fondasi syariah. Secara epistimologis, pandangan Woodward ini berangkat dari pandangan bahwa Islam lebih merupakan tradisi yang mengejawantah dari hubungan antara teks suci, sunnah dan kondisi historis. Prinsip Harmoni adalah prinsip yang dikedepankan oleh masyarakat Jawa. Untuk itu setiap perbedaan akan diarahkan pada pencapaian harmoni yang lebih tinggi yakni harmoni masyarakat —kemapanan21. Istilah Slametan dan kenduren merupakan salah satu bentuk penjagaan harmoni yang dipercaya merupakan bentuk warisan temurun dari nenek moyang Jawa pra-Hindu. Sistem tanda yang dibangun dalam slametan dan kenduren merepresentasikan sistem makna tertentu. Tumpeng beserta ubu rampe adalah sebuah penanda atas wawasan makna dan filosofi keberagamaan serta pandangan dunia —world view— yang terbangun dengan asas harmonisasi. Merujuk semiotika Ricoeur, tanda dalam sebuah mitos merepresentasikan sebuah angan-angan sosial sebagai sebuah petanda. Mitos tidak dapat didekati melalui interpretasi historis atas maknanya. Suatu mitos harus dipahami dengan mencari petanda-petanda —berupa makna-makna— yang menjadi unsur utamanya. Anantaboga misalnya. Mitos ini menceriterakan keberadaan seekor ular Batara Guru yang bertapa di bawah bumi. Setiap darah yang menetes dari perseteruan manusia akan meresap ke dalam tanah dan menyentuh kulit sang ular. Rasa sakit akibat terkena darah manusia akan membuat Anantaboga menggeliat dan bergerak yang menimbulkan gempa di permukaan bumi. Kebenaran ilmiah dan historis atas fenomena gempa bumi telah diketemukan. Gempa adalah gejala alam baik yang ditimbulkan pergeseran lempeng bumi maupun akibat aktifitas gunung berapi (vulkanik). Kemudian, bagaimana menyatakan kebenaran mitos yang telah dipercaya turun-temurun tersebut? Pada konteks inilah pandangan dalam semiotika Ricoeur menemukan ruang aplikasi. Anantaboga seyogyanya diartikan sebagai sebuah angan-angan sosial yang membangun makna betapa buruk dan berbahayanya suatu pertikaian.
Penutup
Perbincangan tentang Islam Jawa adalah sebuah ruang dinamis. Artinya, masih terbuka berbagai kemungkinan terciptanya temuan dan interpretasi teranyar tentang sebuah masyarakat yang begitu diminati oleh banyak sejarawan, antropolog dan sosiolog ini. Tulisan ini hanya bagian terkecil dari perbincangan tersebut. Tulisan ini diarahkan guna memerkaya perspektif tentang pelbagai teori yang meliputi sejarah kebudayaan Jawa. Sebagian teori dan pandangan lain belumlah terungkap dalam tulisan ini yang membutuhkan perhatian khusus untuk mendalaminya.
Yogyakarta, 12 November 2007
————————————-
[1] Babad Tanah Djawi, De Prozaversie Van Ngabehi Kertanegara Ingeleid door JJ Ras, diedit oleh JJ Ras. Koninklijk Instituut voor Taal, Leiden: 1987. hal 7
[2] Agama menjadi salah satu kunci utama untuk memasuki studi sejarah dan kebudayaan Jawa. Agama —kepercayaan— menjadi sebuah model penggerak bagi kerajaan-kerajaan di Jawa dan masyarakat Jawa secara lebih umum. Lihat PJ, Zoetmoelder, “Makna Kajian Kebudayaan dan Agama bagi Historiografi Indonesia”, dalam Soedjatmoko. (ed) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1995), hal 288-304
[3] Mandala adalah tempat atau kuil tempat perhunian kelompok rohaniawan Hindu dan dapat juga diartikan sebagai sebuah komunitas agama. Istilah mandala sebenarnya merupakan sebuah sistem politik geografis pada masa kerajaan di Jawa. Seorang Raja memberikan hak khusus kepada para rohaniawan Budha dan Hindu serta para birokrat kerajaan untuk menjadi wakil pada wilayah geografis tertentu. Pemberian hak khusus ini sebagai upaya pelanggengan kekuasaan yang mendapat topangan dari kaum pimpinan keagamaan. Komunitas agama (mandala) sangat tergantung pada kesatuan dharma atau tanah yang dikelola oleh rohaniawan yang mengabdi pada kerajaan.
[4] Lihat Hendro Prasetyo “Mengislamkan” Orang Jawa: Antropologi Baru Islam Indonesia”, Jurnal Islamika No 3 edisi Januari-Maret. Jakarta, 1994, hal 75
[5] Istilah mancapat merupakan konsepsi ruang arkhaik dalam masyarakat Jawa. Pat berasal dari kata empat dan tempat yang mengisyaratkan empat unsur utama yang membangun semesta. Terdapat klasifikasi yang terbangun dari konsep lima mata angin termasuk sisi pusat dari keempat lainnya. Klasifikasi empat mata angin mengandaikan adanya titik di antara hubungan empat mata angin utara, selatan, timur, dan barat (lor, kidul, wetan dan kulon). Konsepsi tata ruang mandala ini membentuk konfigurasi tata pedesaan yang dikelilingi empat desa lainnya pada setiap arah mata angin dengan desa tersebut sebagai pusatnya. Hubungan tradisional masyarakat desa lebih terfokus pada keempat desa yang mengelilingi desa masyarakat tersebut. Konsepsi ini lebih merupakan konsepsi tata ruang agraris sehingga sedikit mengalami kemunduran di wilayah-wilayah perdagangan tertentu seperti Tuban pada Zaman Majapahit yang memiliki masyarakat yang lebih heterogen karena pola perdagangan dan persentuhan dagang dengan berbagai pendatang. Konsepsi ini juga membangun konsepsi politik tentang pusat dari kekuasaan adalah kerajaan. Kerajaan memiliki hubungan dengan penguasa (dewa) empat mata angin dengan kerajaan sebagai titik yang mewakili kekuasaan dewa-dewa di bumi. Bahkan dalam kekuasan kerajaan Hindu ortodoks para raja dinilai sebagai titisan dewa-dewa tertentu, seperti Airlangga yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu.
[6] Lihat Danys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku III. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Hal 100
[7] Istilah petungan menunjukkan bentuk sifat-sifat asali manusia, bakat individu, etika kehidupan sosial, ketentuan nasib dan konsep asli tentang takdir manusia.
[8] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit.,hal 75
[9] ibid
[10] Yuga berarti zaman, sedangkan kaliyuga berarti zaman kebobrokan. Yuga secara kosmogonik merupakan sebuah siklus mistis yang mencakup ritme penciptaan dan kehancuran kosmis. Mahayuga adalah istilah yang merangkum empat putaran yuga, yakni; Krta Yuga,Treta Yuga, Dvapara Yuga,dan Kaliyuga. Lihat Mircea Eliade, Mitos Gerak yang Abadi: Mitos dan Sejarah. Ikon Teralitera: Yogyakarta, 2002. hal 118-119. Pada kepercayaan lain di Jawa, menurut Jangka Jayabaya akan datang era kalabhendu atau era ketidakteraturan. Ramalan Jangka Jayabaya inilah yang dipercaya lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Yuga dalam tradisi Hindu India. Sebagai perbandingan lihat pula Shindunata, Zaman Edan: Manuke-manuke Cucak Rowo…Basis, No 9-10 edisi September-Oktober. Yogyakarta, Kanisius 2005. hal 12.
[11] Sadwara Istilah Sadwara berarti pekan yang terdiri dari enam hari; senin, selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Damais melihat konsepsi Sadwara maupun Pancawara merupakan sistem kebudayaan Jawa yang genuine dan tidak berkait dengan Indianisasi.
[12] Pancawara: Panca berarti lima dan wara berarti pecahan waktu yang berupa pahing, Pon, legi, kliwon wage
[13] Lihat L.C Damais, “Penaggalan Jawa Kuno”, dalam epigrafi….hal 141-149
[14] Lihat Sindhunata, “Zaman Edan: Manuke-manuke Cucak Rowo…Jurnal Basis No.9 edisi eptember Oktober. Yogyakarta, 2003. Hal 4-17. lihat pula sebagai pembanding G.W.J Drewes, Drie Javanesche Goeroe’s: Hun Leven Messias Prediking (Drukkerij A Vross: Leiden, 1925) hal 160-165
[15] Untuk lebih komprehensifnya pemahaman tentang klasifikasi ini ada baiknya untuk membaca detail karya Geerzt Religion of Java yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya, Jakarta, 1981. Bandingkan dengan karya lainnya yang membaca kondisi keberagamaan di Bali dalam Negera Teater: Kerajaan-kerajaan di Bali Abad kesembilan Belas, Bentang, Yogyakarta, 2000
[16] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., hal 75
[17] ibid hal 77
[18] ibid hal 81
[19] ibid
[20] Lihat Robert W. Hefner, ”Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. LKiS, Yogyakarta, 1999.
[21] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., hal 84-85


Tidak ada komentar: