Minggu, 31 Agustus 2008

Tamasya Di Ruang Maya: Reportase singkat kebudayaan massa

The referential world of commodity needs, use value and labor was only historical passageway of radical semiurgy which aims at the liquidation of society and the real, their displacement through structural codes and signs. All the repressive, and reductive strategies of power systems are already present in the internal logic of the sign (baudrillard, 1981: 70)
…..
“Ada orang bisa berfikir cepat.
Biasanya para jenius.
Ada orang berpikir seumur
Hidup dan hasilnya tak ada.
Orang gila malah tidak pernah
berpikir, karena dia sudah
tahu itu tidak ada gunanya.”
(Cerpen “Kaya” karya Putu Wijaya. Jakarta 29 Juli 1991)Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
aBoya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
(Raden Ngabehi Ranggawarsita: Kalatidha)

Setidaknya terdapat dua fenomena penting peubah gerak kebudayaan masyarakat dunia sejak tahun 1920-an: fenomena kemajuan kapitalisme lanjut; dan kelahiran televisi. Kemajuan kapitalisme global yang mulai menemukan bentuk pada tahun 1920-an adalah titik terpenting perubahan konfigurasi kebudayaan manusia. Ide produksi sebagai faktor dominan pembentuk pasar kompetitif pada Kapitalisme awal, dalam era kapitalisme lanjut tergantikan oleh modus konsumsi. Konsumsi adalah determinan penting dalam modus operasional kapitalisme lanjut. Tidak sebatas itu, menurut Kellner, konsumsi adalah sebuah mesin penggerak penting yang mengarahkan realitas sosial, budaya dan politik (Kellner, 1994;3). Enersi kapitalisme lanjut tidak terletak pada kemampuan produksi lagi, melainkan kekuatan untuk terus meningkatkan kekuatan dan hasrat konsumsi. Titik. Disinilah postmodernitas dimulai.
Istilah posmodernisme —atau paska modernisme— bersifat ambigu. Di dalamnya terdapat berbagai praktik dan konsep yang tidak kesemuanya sinkron, bahkan terkadang saling bertubrukan, tumpang tindih dan berkelindan. Postmodernisme adalah istilah yang kontreversial, begitu Bambang Sugiharto menyimpulkan (Sugiharto, 1996: 15). Namun, sebelum melangkah lebih jauh membicarakan posmodernitas, perlu kiranya membedakan istilah postmodernisme dan postmodernitas.
Istilah pertama, postmodernisme, menunjuk kririk-kritik filosofis atas gambaran dunia (weltanschauung), epistimologi dan idiologi-idiologi modern. Istilah ini memang digunakan dengan secara beragam, karena itu pula menjadi sulit untuk memahami istilah ini secara parsial. Istilah “post” di awal kata modernisme sendiri menimbulkan pelbagai perdebatan. Pertanyaannya, apakah istilah “post” merupakan sebuah pemutusan radikal atas prinsip-prinsip modernisme seperti diungkap Lyotard dan Gellner; sekedar koreksi atas prinsip-prinsip landasan dunia modern; proyek modernitas yang belum usai (Habermas); dunia modern yang telah sadar diri (Anthony Giddens); ataukah modernitas yang akhirnya bunuh diri (Baudrillard, Derrida, Foucault) ? (Sugiharto, 1996:24).
Kelahiran modernisme —tidak sesederhana yang dipahami secara umum sebagai dunia yang dipenuhi oleh kemajuan teknologi— tidak dapat dilepaskan dari perkembangan gerakan humanisme di Italia pada abad ke-14. Gerakan diteruskan oleh semangat Renaisans abad ke-16 dan dimantapkan oleh gerakan pencerahan (enlightment―aufkärung pada abad ke 18. Era pencerahanlah yang kemudian dipercaya sebagai titik tolak kemajuan penemuan manusia. Gema pencerahan berupaya mendobrak otoritas agama yang dogmatis —dalam konteks ini adalah kekuasaan gereja katholik; mengangkat harkat dan martabat manusia; dan meyakinkan adanya otoritas manusia yang mampu menemukan kebenaran sendiri bersandar pada rasio sebagai potensi utama manusia.
Rene Descartes adalah tokoh yang disebut-sebut sebagai peletak utama pondasi kekuatan modernisme. Adagium cogito ergo sum yang masyhur dinilai sebagai nubuwwat Cartesian yang telah menggiring manusia keluar dari labirin kegelapan abad pertengahan. Diktum “aku berpikir maka aku ada” merupakan kata perpisahan manusia modern dari kekuatan metafisis dan transendental, sekaligus pengukuhan kemandirian otoritas kemanusiaan. Adagium Cartesian telah mentahbiskan manusia sebagai otoritas sadar yang berjarak dan kritis terhadap pelbagai kekuatan dan dominasi ilusi dan mitos. Dalam ranah filsafat modernisme Cartesian dikukuhkan oleh dua tokoh penting, yakni Emanuel Kant dan G.W.F. Hegel. Ide-ide Descartes tersebut dimantapkan dengan kebudayaan sains dan kapitalisme. Maka terciptalah dunia modern yang berdiri di atas pondasi-pondasi ego, rasio, obyektivitas, totalitas, ide-ide absolut, oposisi biner dan otoritas.
Postmodernisme secara sederhana dapat berarti pembelotan atau perpisahan dari unsur-unsur fondasional modernisme. Penggunaan istilah postmodernisme bukanlah sesuatu yang baru. Dalam catatan Ihhab Hasan, seorang tokoh yang memproklamirkan diri sebagai pembicara terkemuka postmodernisme, Istilah postmodernisme digunakan pertama kali oleh Frederico de Onis pada tahun 1930 dalam karya Antologia De La Poesia A Hispanoamericana untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme (Sugiharto, 1996:24).
Istilah posmodernisme akhirnya digunakan di pelbagai ruang yang berbeda. Di ruang arsitektur Charles Jenks menjadi penggiat pengguna istilah ini dengan meluncurkan The Language Of Postmodern Architecture. Dalam dunia seni muncullah nama Andy Warhol dengan chicken soup can painting dan ready made art dengan pispot sebagai ikon oleh Marcel Duchamp. Dalam kritik sastra mucullah Susan Sontag dan Julia Kristeva dengan intertekstualitas. Pierre Bordieu dengan konsep habitus dalam dunia sosiologi-antropologi. Dan yang paling santer terdengar dari dunia filsafat, Jean Francois Lyotard, dengan reportase penggunaan komputer di Queebec yang masyhur dengan judul A Postmodern Condition: A Report Of Knowledge. Selain itu masih ada pula Derrida dengan kritik gramatologi dan dekonstruksi yang menghantui filsafat masa kini, serta Michel Foucault dengan arkeologi pengetahuan (archeology of knowledge).
Beberapa alasan menjadi penting untuk diketahui guna menelusuri genealogi kelahiran postmodernisme. Diakui atau tidak, di tengah pelbagai kemajuan, modernisme telah gagal mewujudkan beberapa cita-cita penting pencerahan. Kehebatan ilmu pengetahuan yang berbalik arah meruntuhkan kemanusiaan dan menciptakan pelbagai patologi adalah sumber utamanya. Modernisme oleh kelompok postmodernis dituduh telah gagal mewujudkan cita-cita perbaikan kehidupan manusia. Gagalnya cita-cita saintifisme modernisme yang bertujuan memecahkan persoalan manusia, dan sebaliknya justeru membawa implikasi negatif berupa beragam patologi adalah sebab lainnya. Gugatan lainnya berkaitan visi aksiologis dimana pengetahuan modern dinilai telah ditunggangi oleh pelbagai kepentingan kekuasaan dan ekonomi dan politik. Artinya, pengetahuan modern tidak dapat melepaskan diri dari penyalahgunaan demi kekuasaan dan penaklukan. Dan yang terpenting adalah kontradiksi antara pelbagai fakta dan teori-teori pondasi modernisme.
Menurut Bambang Sugiharto, setidaknya ada tiga kategori besar corak para pemikir postmodern (Sugiharto, 1996:30). Pertama, adalah kelompok yang berkecenderungan mengembalikan susana dan visi kemodernan ke arah pra-modern. Penggiat kelompok ini umumnya muncul dari kelompok fisika yang bersemboyan “holisme” serta kelompok fisikawan yang mengaitkan fenomena fisika dengan fenomena mistiko-mistis.
Kedua, adalah para penggiat yang terkait erat dengan kesusasteraan dan banyak berhubungan dengan linguistika. Gagasan kelompok ini adalah menghantam sisi pandangan dunia (weltanschauung―worldview) dunia modern dengan melemparkannya pada nihilisme. Memang kelompok ini awalnya tidak mengarahkan kritik terhadap pandangan dunia menuju kenihilan atau nihilisme, namun tujuan tersebut berbelok dari upaya pencegahan kemunculan totaliterisme menuju nihilisme. Kelompok ini diwakili oleh Jaques Derrida, Vatimo dan Michel Foucault).
Ketiga, adalah kelompok revivalis yang berkeinginan untuk memperbaiki pelbagai asumsi-asumsi kemodernan yang dinilai tidak lagi sesuai dan harus mengalami perbaikan. Upaya kelompok ini lebih dapat dikategorikan sebagai upaya untuk memberikan kritik imanen terhadap modernisme untuk mengatasi pelbagaiimplikasi negatifnya.
Di lain sisi, istilah yang memang sangat mirip ―postmodernitas― memiliki makna yang jauh berbeda dengan postmodernisme di ruang diskursus keilmuan. Postmodernitas menunjuk kondisi sosio-kultural masyarakat sebagai efek perkembangan kapitalisme dan saintifisme modern. Postmodernitas lebih menunjuk ke arah persoalan antropologis manusia sebagai efek dari perkembangan pelbagai teknologi, mekanisasi dan kapitalisasi konsumsi. Namun, bagaiamaanapun terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antar kedua istilah tersebut.
Seperti disampaikan di muka, sejak era tahun 1920an, perkembangan kapitalisme lanjut telah mampu menjadi salah satu penentu perubahan kebudayaan manusia. Kedua, perkembangan teknologi informasi, khususnya televisi telah berhasil memberikan efek bilyard yang cukup kuat dan mengakar dalam pemembentukan pola dan kesan kebudayaan yang berkembang massif di tengah masyarakat. Perubahan enersi kapitalisme dari modus produksi menjadi keinginan untuk memaksimalkan konsumsi telah memberi efek tidak sederhana pada ruang kultural manusia. Sejauh ini, kekuatan kapitalisme lanjut tersebut dinilai telah berhasil dengan cukup baik, buktinya adalah terbentuknya masyarakat yang kerap disebut sebagai masyarakat konsumer. Sangat memungkinkan untuk memberikan penjelasan atas perubahan sporadis secara genealogis.
Kekuatan kapitalisme yang didukung oleh teknologi massal setidaknya telah meruntuhkan pelbagai asumsi dan pondasi pandangan-pandangan tradisional di ruang antropologi dan sosiologi. Masyarakat yang dipercaya berkembang secara linier, akhirnya secara terbuka mengalami ledakan kebudayaan dengan menanggalkan segala linieritas yang dulunya dipercaya sebagai modus perkembangan kebudayaan manusia. Konsumsi yang pada era sebelumnya merupakan relasi kebutuhan dan pemenuhan, akhirnya direduksi menjadi sebuah mode, bukan pemenuhan kebutuhan semata. Dalam sirkulasi mayarakat konsumer, konsumsi adalah aktifitas inti kehidupan sosiologis.
Menurut Baudrillard, salah seorang pewarta postmodernisme, Marxisme dengan konsep linieritas perubahan masyarakat telah kehilangan kebenarannya. Kebutuhan dan pemenuhan, nilai guna dan nilai tukar sudah bukan lagi determinan arus persentuhan ekonomi sebagaimana dipercaya oleh Karl Marx. Sangat dipengaruhi oleh semiotika Rolland Barthes dalam The System Of Fashion (1967) ―lebih tepatnya terpengaruh oleh pesona semiotika, Baudrillard mempercayai adanya perubahan mode of production menjadi mode of consumption. Semangat kapitalisme berubah menjadi semangat untuk meledakkan konsumsi. Modus konsumsi inilah yang akhirnya merubah seluruh aspek kehidupan menjadi obyek konsumsi yang berupa komoditi. Bahkan, Tak ada batas antara yang sakral dan profan, karena keduanya ikut menjadi objek konsumsi.
Perkembangan pola konsumsi pada masyarakat postmodern tidak lepas dari peran serta media yang begitu massif memperdengarkan dan mewartakan produk. Secara ekstrem bahkan, meminjam istilah Guy Debord, Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat konsumsi juga merupakan masyarakat tontonan (society of spactacle). Tontonan adalah bentuk doktrinasi konsumsi yang menyeruak ke tengah jantung masyarakat. Dalam konsep masyarakat tontonan, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana ditegaskan oleh Marx, telah kehilangn kesakralan dan kebenarannya. Nilai-tukar (exchange value) dan nilai guna (used value) telah berubah menjadi nilai tanda (sign value) dan nilai simbolik (simbolic value).
Menurut Baudrillard, fungsi komoditas tidak lagi ditentukan dengan adanya nilai guna atau nilai tukar semata, melainkan juga ditentukan oleh nilai-nilai simbol dan tanda yang dilekatkan pada komoditas-komoditas tersebut. Tema-tema gaya hidup, kelas, kemewahan, adalah bentuk idiologi tanda dan simbol konsumsi yang dimasukkan ke dalam komoditas. Walhasil, komoditas atau obyek-obyek konsumsi menjelma menjadi sebuah sistem klasifikasi masyarakat, status, prestise dan pola tingkah laku masyarakat.
Pernyataan Baudrillard sekilas memang bersifat dan tampak hiperbolis. Pernyataan bahwa inti dari konsumsi adalah bentuk penandaan dan pencitraan tidak bermaksud mengenyampingkan adanya fungsi kebutuhan dalam diri manusia. Baudrillard hanya ingin menyatakan bahwa pemilihan obyek konsumsi, kebutuhan dan kenikmatan biologis sudah bukan lagi satu-satunya penentu yang menggerakkan, melainkan terpengaruh oleh sebuah sistem yang memberikan citra dan tanda yang merangsang terjadinya pola konsumsi yang sporadik. Konsumsi juga berarti peraihan prestise, status dan identitas.
Dalam pandangan Guy Debord, jika Karl Marx menyatakan prinsip ada (being) telah direduksi menjadi kepemilikan (having) ―atau perilaku yang mengarah untuk memiliki objek-objek atau komoditas-komoditas― maka konsep kepemilikan kini telah tergantikan oleh konsep penampakan (appearing). Dengan demikian objek-objek konsumsi tidak semata lagi ingin dimiliki karena tuntutan kebutuhan biologis, melainkan lebih didorong oleh keinginan-keinginan meraih citra. Bagi Baudrillard ini berarti kelahiran nilai simbolis (sybolic value) dan nilai tanda (sign value).
Salah satu yang paling menarik dari pemikirtan Baudrillard adalah pandangan tentang topologi perkembangan masyarakat. Karl Marx meyakini bahwa masyarakat akan berkembang melalui tiga lintasan, yakni masyarakat primitif―feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Masyarakat primitif merupakan konstruksi masyarakat yang berlangsung dari zaman Yunani sampai dengan terjadinya Renaissans. Dalam konstruksi masyarakat ini belum terdapat pembagian kelas kerja, atau pembagian kelas berdasarkan mekanisme ekonomi-produksi. Masyarakat Kapitalis terbentuk seiring dengan lahirnya konsep tentang kepemilikan atau hak milik. Masyarakat kapitalis terbagi menjadi kelas pekerja (buruh) dan kelas pemilik modal. Sedangkan masyarakat komunis, bagi Marx, merupakan konstruksi masyarakat yang paling ideal. Dalam fase ini tidak lagi terdapat pembagian kelas, yang ada hanyalah kesetaraan. Namun, dalam pandangan Baudrillard periodisasi masyarakat tidaklah speeti yang diyakini oleh Marx. Bagi Baudrillard, periodisasi perkebangan masyarakat adalah lintasan (trajectory) masyarakat primitif, masyarakat hierarkis dan masyarakat massa. Pada titik inilah Baudrillard berpisah dari pemikiran Marx.
Masyarakat pritimitif, dalam pandangan Baudrillard, merupakan konstruksi masyarakat yang tidak mengenal penandaan atau tanda. Objek dikelola secara murni berdasarkan fungsi-fungsi alamiahnya. Pada masyarakat Masyarakat hierarkis lahirlah tanda-tanda yang beroperasi dengan lingkup dan cakupan yang sempit. Tanda mulai menggantikan fungsi guna atau fungsi murni dari objek-objek. Tanda yang pertama kali berkembang adalah nilai tukar. Sementara pada masyarakat massa, tanda usdah tidak dapat dikendalikan oleh otoritas masyarakat. Tanda menjadi sangat dominan sehingga obyek tidak dapat lagi menjadi sesuatu yang murni. Di sinilah letak kebudayaan massa atau kebudayaan populer.
Kebudayaan massa adalah sebuah jawaban bagi sebuah masyarakat yang hidup dalam pelbagai simbol dan tanda-tanda yang saling bertubrukan. Kebudayaan massa hadir dengan membawa etos dan format baru kehidupan. Dalam kebudayaan massa, sesuatu yang bersifat dalam menjadi tidak penting, dikalahkan dengan penampilan dan penampakan yangmuncul dipermukaan. Era kebudayaan massa adalah era pemujaan atas nilai-nilai penampakan, perayaan kebebasan (emansipasi-liberal), kenikmatan tanpa kekhusyukan, permainan, kedangkalan, kemeriahan dan kesenangan yang penuh bujuk rayu (seduction). Dengan demikian, sangatlah pantas jika masyarakat konsumer disandingkan dengan keberadaan kebudayaan massa sebagai sebuah prototipe legitimasi kultural atas perilaku konsumsi.
Budaya massa secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang cair dan tak memiliki sekat pembatas klasikal bagi penikmat. Ia ―meminjam istilah Richard Rorty― bersifat something goes, atau seba boleh atau boleh-boleh saja. Istilah massa bersifat berlawanan atau bersifat oposisi biner dengan istilah budaya aristokrasi atu budaya kelas tinggi seperti model kebudayaan musik barok pada khazanah musik klasik Eropa.
Jejak kebudayaan massa sebanrnya telah ada sejak masih bercokol kuatnya budaya aristokrat. Dalam sejarah Yunani, kita mengenal perhelatan Olimpiade yang merupakan sebuah pesta rakyat yang juga dinikmati dan dihadiri oleh para penguasa aristokrat zaman itu. Padapandangan lain, merujuk Leo Lowhental yang dikutip Dominic Strinati, kebudayaan massa dapat dilacak keberadannya sejak era sirkus pada masa Romawi kuno. Sirkus merupakan sebuah bentuk kebudayaan plural yang terdiri dari permainan, pesta rakyat dan olahraga yang secara bebas dapat dinikmati oleh siapapun (Dominic, 1995. bandingkan dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia berjudul popular culture. Jejak. 2007).
Namun pada perkembangannya, politik ekonomi kapitalisme telah mengadopsi sistem pembiakan budaya massa sebagai upaya guna memasifkan kampanye penerimaan komoditas ekonomi tertentu. Dengan menciptakan modus standarisasi dan dan penyeragaman selera atau rasa, mekanisme pembuatan produk akhirnya terarah langsung menuju sebuah model kemassalan kebudayaan dalam kerangka konsumsi.
Mungkin kita dulu tidak mengenal merk atau ikon-ikon perdagangan seperti Nike, Kentucky Fried Chicken, McDonald, Pizza Hut, dan sebagainya. Dengan penyeragaman rasa akhirnya kita mengenal dan secara bebas menerima merek-merek tersebut sebagian bagian yang ―seakan-akan― alamiah ada dalam kebudayaan kita. Pernahkah kita mengamati sebuah fenomena jilbab? Selepas peluncuran film Ayat-ayat Cinta masyarakat berjilbab dihebohkan dengan trend jilbab ala zaskia Adya Mecca.
Budaya massa awalnya adalah budaya rendahan ―tepatnya budaya rakyat atau folkculture― yang berposisi lawan sebagai lawan kata budaya tinggi para aristokrat. Namun, menurut catatan McDonald, kebudayaan tersebut akhirnya dipolitisir sebagai media penyeragaman atau meledakkan kebudayaan tinggi sehingga tak lagi ada sekat dan batas yang dapat membedakan. Contohnya, pada kasus cara berpakaian, dalam budaya massa tidak ada perbedaan klasikal bagi pengguna Jeans, baik orang miskin atau kaya, selama mampu memiliki tetap akan boleh menggunakan.
Demokrasi merupakan instrument penting merebaknya budaya massa. Demokrasi setidaknya menjadi perangkat yang menghancurkan tembok pemisah antara kebudayaan kelas tinggi dengan kebudayaan kelas bawah. Hancurnya hierarki tradisional melalui kekuatan demokrasi telah menegakkan dan mengukuhkan kekuatan budaya massa secara lebih kuat. Hal ini juga sangat terkait dengan epistimologi universal dari dunia Barat.
Dalam ukuran politisasi kebudayaan kapitalistik, dunia boleh saja berubah demi tercapainya target-target ekonomi tertentu. Dengan modal tersebut, diciptakanlah upaya-upaya untuk membangun sebuah keseragaman kebudayaan ―meski sedikit gegabah tetap harus saya sebut sebagai globalisasi― yang memungkinkan diterimanya keseragaman produk di belahan dunia yang berbeda. Sebagai upaya mempermudah masuknya produk, maka diciptakan pelbagai etos kebudayaan yang bersandarkan pada asas-asas perayaan atas hal-hal yang dangkal, sepele, sentimental dan penuh kemeriahan. Hedonisme adalah prinsip utamanya. Kehadiran budaya massa juga menimbulkan penolakan pada sakralitas dan keluhuran yang memang sulit untuk dipikirkan. Ciri lain dari budaya massa adalah miskinnya makna dalam setiap ruang interaksi yang dibangun, seperti fenomena cafe, diskotik, dan mall.
Untuk membangun keseragaman kebudayaan demi massifnya idiologi ekonomi, maka pelbagai upaya dilakukan oleh kelompok kapitalis. Sebut saja dengan memasifkan demokrasi, menciptakan pendidikan bernuansa global, stereotipikasi regional, dan penanaman citra-citra pada produk.
Pembentukan citra dankesan atas situasi dan produk tertentu tidak terlepas dari kekuatan teknologi informasi yang berkembang dengan sangat pesat. Televisi dan internet adalah yang paling utama. The satanic box (TV) merupakan alat liturgy terpenting dalam perayaan doa-doa kemeriahan budaya massa. Dengannya, pelbagai pencitraan dan kampanye idiologis ditampailkan secara massif agar perlahan dapat diterima sebagai sesuatu yang natural. Dunia televisi bagi Baudrillard merupakan sebuah dunia dimana segala yang real dan yang palsu melebur menjadi sebuah keyakinan dan keniscayaan. Televisi merupakan ruang bertumpuknya pelbagai simbol, tanda, impian dan citra yang secara gradual dilesakkan ke dalam pikiran para penontonnya. Istilah masyarakat tontonan (spectacle of society) merupakan istilah yang menunjuk mayoritas diam para penikmat televisi yang dengan tanpa daya kritis apapun menerima pelbagai suguhan di dalamnya.
Dengan dukungan teknologi tersebut kampanye pembumian citra berlangsung. Mari kita telaah dari contoh yang sederhana. Iklan.
Iklan merupakan perangkat penting agitasi pembentukan budaya massa. Semangat iklan bukan hanya semangat memperkenalkan produk tetapi lebih merupakan semangat untuk memasukkan idiologi mengkonsumsi baghi para pemirsanya. Iklan Lux tampil dengan model Dian Sastro Wardoyo; Iklan rokok tampil dengan segala macam kegagahan laki-laki; dan iklan mobil menampakkan bentuk dan kesan sebagai sesuatu yang berbau Eropa. Mari berpikir sedikit kritis, benarkah semua citra yang terbangun tersebut?
Keberadaan Dian Sastreo sebagai bintang iklan bukanlah sebuah ketidaksengajaan, namun lebih merupakan propaganda semiotis. Ia merupakan penanda dari petanda yang berupa nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh produsen produk sabun tersebut. Dengan memunculkan Dian sastro sebagi aktor penanda, akan terbangun mindset bahwa cantik adalah seperti Dian Sastro dan dia menggunakan sabun LUX. Masih adakah yang dapat dipercayai dari iklan?
Iklan merupakan sebuah retorika citra dalam istilah Barthes. Merujuk Barthes segala prinsip-prinsip penandaan dalam iklan yang berupa kecantikan, kehalusan, kehormatan merupakan sebuah glamorisasi. Galamorisasi adalah pelepasan suatu objek dari konteksnya. Glamorisasi membuat ―masih menggunakan contoh iklan Dian Sastro― kesan cantik akan terlekat di luar konteks yang sebenarnya dan bersifat dependen pada produk-produk tertentu. Seakan-akan setiap orang membeli lux agar menjadi seperti dian Sastro Wadoyo. Pada contoh lain, pembelian Mercedes Benz cenderung bukan lagi merupakan persoalan kebutuhan kedaraan tapi penikmatan atas nilai dan tanda prestise yang menempel pada kendaraan tersebut.
Kesamaan atau keseragaman model dan etos adalah corak terpenting dalam kebudayaan massa. Keseragaman tersebut dapat kita temui pada fashion, kendaraan, kuliner, gaya hidup, hobby dan berbagai bentuk keseragaman lain yang sangat ditunjang oleh konstruksi kebudayaan massal. Peniruan pada dasarnya merupakan sifat alamiah manusia. Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentu-bentuk yang dipercaya atau dirasakan mempunyai kecocokan. Namun, pada konteks budaya massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman yang dibentuk secara terperinci dan sistematis oleh sebuah otoritas politik ekonomi. Inilah yang mengkhawatirkan.
Simulasi, adalah istilah yang digunakan oleh Baudrillard untuk menunjuk proses kreasi imitasi atas realitas yang hampir menyerupai realitas sebenarnya. Simulasi beroperasi dengan meniadakan referensi, kebenaran, dan realitas, serta mengedepankan penampakan sebagai prinsip ontologis. Dengan simulasi, orang akan terjebak masuk ke dalam suatu ruang yang dirasa seakan nyata meskipun sesungguhnya merupakan kesemuan. Pelbagai perbedaan antara yang asli (real―benar-benar ada) dan yang fantasi menjadi sangat tipis melalui prinsip-prinsip simulasi tersebut. Dalam televisi, sinetron contohnya, realitas dicipta menggunakan teknologi. Efek tidak langsung dari pencitraan tersebut bersifat psikologis. secara psikologis, penonton akan terjerat dalam kurungan emosi dan kognisi yang menimbulkan kesadaran seakan-akan realitas dalam sinetron adalah yang sebenarnya.
Smack Down, contoh lainnya, adalah sebuah olahraga gulat yang dipenuhi oleh pencitraan dan simulasi. Smack Down bukanlah sebuah gulat yang sebenarnya, melainkan sebuah citra akan bentuk olahraga gulat. Tehnik pencitraan televisi atau teknologi memungkinkan munculnya penilaian bahwa para pegulat Smack Down sunguh-sungguh tengah saling bertarung dan mengalahkan. Walhasil, banyak diketemukan kasus peniruan yang bukan hanya dilakukan oleh anak-anak, bahkanoleh orang dewasa yang secara kognitif dipercaya telah lebih mapan.

Lacan Dan Hasrat Mengkonsumsi
Membaca fenomena kebudayaan massa menggunakan psikoanalisa sungguh mengasyikkan. Setidaknya kita menemukan sebuah prototipe otomatisasi perilaku dalam individu yang bergerak dari ruang bawah sadar. Namun pembacaan atas fenomena kebudayaan massa dalam tulisan ini akan mencoba menggunakan model psikoanalisa Lacanian yang mungkin kurang masyhur di kalangan akademisi psikologi di Indonesia. Hal ini mungkin juga tidak jauh berbeda dengan nasib pengembangan psikoanalisa ala zizek dan Fanon, keduanya justeru mendapat tempat terhormat pada diskursus filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Sebagai catatan awal, kepercayaan pertama yang dibangun oleh modernisme adalah kerpercayaan atas mandirinya manusia yang memiliki kesadaran. Cogito ergo sum adalah patokannya. Manusia dipercaya sebagai mahluk yang berkuasa terhadap segala bentuk fantasi, imajinasi, khayal yang terus membayangi kekuatan rasionalitasnya. Freud Muda telah menguji tesis tersebut. Freud dengan topologi kesadaran-ketidaksaran menghantam pemikiran tersebut. Ego-cogitan dicurigai oleh Freud dikendalikan oleh ketidaksadaran yang merupakan produk perkembangan perversitas polimorfosis bayi manusia. Namun serangan Freud tidak bertahan lama. Kemunculan konsep ego menampakkan watak paradoks dari pemikiran Freud. Ego akhirnya dipercaya mampu selalu menundukkan id ―sebagai kekuatan ketidaksadaran. Disinilah Freud dinilai ikut merayakan ego Cartesian.
Jaques Lacan justeru meragukan kemajuan pemikiran yang dicapai oleh Freud tersebut. Baginya tidak mungkin ego adalah yang sepenuhnya sadar. Ego adalah pseudo kesadaran yang lahir dari proses kesalahan membangun konsep diri pada fase cerminal. Bagi Lacan, adalah sesuatu yang bernama hasrat (desire) yang tidak tertundukkan dalam perjalanan hidup manusia. Hasrat adalah salah satu bentuk lain dari ketidaksadaran dalam konsepsi Freud muda meskipun tidak seutuhnya sama.
Penting untuk mengingat bahwa fase cerminal telah mencipta konsep diri atau ego pada manusia. Tetapi ego tersebut tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi sempurna. Karena ke-aku-an dinilai akan terus berjalan dengan ke-lian-nan. Kesadaran akan aku adalah kesadaran akan yang liyan. Aku sebagai hasil fase cerminal tetaplah bukan sesuatu yang sempurna sebagai “aku’, pseudo-aku atau ego ideal, tepatnya. Aku yang muncul melalui proses pengenalan melalui cermin tetaplah kesalahan persepsi atas makna diri. Sebagai catatan lainnya, manusia berproses sepenuhnya untuk kembali pada fase Yang Real. Sebuah fase yang tanpa kekurangan. Keinginan kembali pada fase tersebut merupakan salah satu asal-usul hasrat.
Pada konsep perilaku selanjutnya, manusia selalu menggunakan konsep diri yang salah tersebut sebagai piranti berperilaku dan berhubungan dengan dunia liyan ―selain aku. Artinya, ego yang dipercaya sadar sebenarnya masih menyimpan hasrat ketidaksadaran. Intinya, Manusia senantiasa berperilaku guna mencapai kesempurnaan yang hilang seiring lepasnya fase Yang Real.
Untuk menemukan konsep diri, sebenarnya manusia kerap mengulangi fase cerminal yang terdapat dalam fase Yang Imajiner. Manusia sering melakukan konfrontasi atau pengecekan konsep diri dengan keberadaan liyan dalam Liyan-liyan aktual. Cermin yang bermakna metaforis dapat memiliki arti segala sesuatu yang digunakan seseorang untuk meyakinkan keberadaan dirinya, atau keberadaan konsep tentang dirinya. Cermin itu dapat berupa orang lain, tayangan bergambar, ketokohan, ibu, atau pelbagai hal lainnya. Keberadaan cermin memang sangat penting agar seseorang menyadari bahwa dirinya eksis.
Fungsi cermin adalah media penyetaraan konsep diri. Artinya, seseorang melihat dirinya melalui liyan. Proses konsfrontasi atau pengecekan tersebut setidaknya memberikan efek terbentuknya konsep diri yang dipengaruhi oleh bentuk dan skema liyan yang menjadi cermin.
Pada budaya massa, iklan, televisi, bintang, mall, dan berbagai perangkat politik ekonomi lainnya merupakan cermin yang ―dirasa maupun tidak― digunakan untuk mengkonfrontir atau memastikan konsep tentang diri. Ketika seorang perempuan melihat Dian Sastro yang cantik, ia akan mencoba melakukan konfrontasi konseptual dirinya dan Dian Sastro. Jika dirasa terdapat kekurangan dalam dirinya, maka hasrat akan mendorong terbentuknya perilaku guna pencapaian kepenuhan konsep diri tersebut, dalam konteks ini adalah dengan konsumsi. Konsumsi artinya buukan semata untuk memenuhi diri dengan kebutuhanakan sabun, tapi juga sebagai upaya pemenuhan konsep diri yang dirasa kurang, yakni keinginan menjadi seperti Dian sastro sebagai hasil dari mekanisme cerminal.
Lalu mengapa kebudayaan masa berkembang sebegitu cepat?
Kembali pada dasar konsep bahwa seseorang merupakan cermin atau liyan bagi ego-ego yang lain. Interaksi secara otomatis telah menciptakan sirkulasi cerminal: orang-orang saling menjadikan yang lain sebagai cermin untuk mengutakan konsep egonya. Jadi, ketika ketidakmiripan terhadap bayangan cermin dirasakan, seseorang akan berupaya melakukan pemenuhan secara otomatis. Model pemenuhan ini tidak membutuhkan bahasa, karena hasrat tidak dapat ditunggangi oleh bahasa ―setidaknya menurut konsepsi Lacan. Ketika Mall menjadi sebuah cermin, maka ketidaksesuaian dengan konsep mall tersebut akan segera diupayakan untuk terpenuhi oleh ego seseorang.
Kebudayaan massa dalam konteks ini, merupakan sebuah cermin yang menuntut seseorang untuk terus melakukan evaluasi dan konfrontasi ego-idealnya terhadap model-model dan bentuk yang sesuai. Dengan pencermatan yang sedemikian rupa, keyakinan Lacan bahwa manusia yang sesungguhnya benar-benar tidak sadar dapat diperluas pengertiannya, menjadi kemungkinan adanya ketidaksadaran massal yang disebabkan oleh sistem penandaan yang berseliweran dengan tanpa titik pemberhentian.
Catatan penting untuk psikoanalisa Lacan adalah sifatnya yang telah lepas dari konsep biologis; hasrat telah melampaui sesuatu yang biologis. Meskipun secara biologis kebutuhan telah terpenuhi, namun hasrat untuk menyempurnakan konsep diri tetap tidak terhenti. Hasrat peniruan adalah hasrat agar sesuai dengan suatu kelompok atau orang lain sehingga dirinya dapat memperoleh penghargaan atau pengakuan atas eksistensi.
Dalam pembacaan Lacanian, yang liyan adalah adalah penanda bagi liyan-liyan yang lain, inilah yang menyebabkan terbentuknya sirkulasi penandaan. Menjadi sadar, setidaknya, berarti mengurangi atau sedikit menghentikan sirkulasi penandaan antar liyan-liyan. Dengan demikian, menjadi sadar pada era konsumerisme berarti berupaya menghentikan efek penandaan yang mempengaruhi konsep aku-ego pada diri masing-masing individu. Menjadi sadar berarti mengupayakan terhentinya efek penandan oleh liyan-liyan yang diciptakan secara sistematis dalam ruang kebudayaan massal agar tidak menjadi faktor pemengaruh pada ego. Namun menurut Lacan, uapaya tersebut tidak akan pernah mencapai kesempurnaan. Perhentian satu sistem penandaan akan menimbulkan efek timbulnya sirkulasi penandaan lainnya. Kesulitan lainnya ―menurut Lacan― adalah bahwa hasrat tidak dapat dibincangkan dalam mekanisme kebahasaan, sehingga kemunculannya selalu bersifat tiba-tiba dan tidak dinyana.
Manusia, sungguh-sungguh tidak sadar. Titik. Menurut Lacan.

Glosarium
Nihilisme : sikap atau pandangan yang menolak nilai-nilai kebenaran moral, dan melihatnya dalam posisi yang berada di titik nol, artinya pada titik yang tidak memiliki polarisasi nilai
Semiotika : ilmu tentang tanda-tanda serta penggunaannya dalam masyarakat
Tanda : unsur dasar semiotika dan komunikasi, yaitu segala yang mengandung makna, yang memiliki dua unsur, penanda (bentuk) dan petanda (makna).
Budaya massa : kategori kebudayan yang diciptakan untuk massa yang luas, Adorno memandangnya sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal atau rendah
Citra : sesuatu yang tampak oleh mata namun tidak memiliki eksistensi substansial
Fase cermin : fase penting perkembangan bayi dalam psikoanalisa Lacanian, saat bayi pertama kali mengenal dirinya melalui cermin. Namun yang dilihatnya tidak lebih dari sekedar citraan, representasi semu atau ego palsu dari dirinya yang sesungguhnya
Idiologi : sebuah sitem kepercayaan dan sistem nilai serta representasinya dalam berbagai media dan tindakan sosial
Konsumerisme: manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran
Masyarakat tontonan: masyarakat yang pelbagai aspek hidupnya dipenuhi dengan tontonan yang kemudian dijadikan referensi dan patokan dalam hidupnya
Oposisi biner : prinsip pertentangan antara istilah yang berseberangan dalam istilah strukturalisme, yang satu memiliki makna yang lebih superior tinimbang yang lain, seperti baik-buruk, lemah-kuat, dll.
Habitus : struktur kognitif yang menghubungkan individu dengan realitas sosial. Istilah ini muncul dalam sosiologi Pierre Bordieu
Penampakan (Appearing) : kualitas objek yang secara langsung dapat ditangkap oleh instuisi, untuk membedakan yang berada dalam jangkauan intuisi dengan sesuatu yang berada di luar jangkauan intuisi
Hasrat/desire : istilah dalam psikoanalisa lacanian sebuah mekanisme psikis berupa gejolak rangsangan terhadap objek atau pengalaman yang menjajnjikan kepuasan, yang selalu berupa sesuatu yang berbeda, sesuatu yang telah hilang ketika manusia menjadi dewasa, yaknikepuasan bersatu dengan ibu.
Intertekstualitas : kesaling terhubungannya satu teks dengan teks yang lain atau teks-teks sebelumnya, dalam bentuk persilangan kutipan dan ungkapan-ungkapannnya. Satu teks dengan yang lain bersifat saling mengisi.

Read More......

Mengenal Psikoanalisa Lacanian

Konsep ketidaksadaran mengetuk-ngetuk pintu psikologi meminta izin masuk. Sementara filsafat dan sastra telah lama bergelut dengannya, namun ilmu pengetahuan tidak tahu kegunaannya.
(Freud)1

Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Layaknya aliran besar lainnya, marxisme contohnya, psikoanalisa telah merambah berbagai sektor keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian. Psikoanalisa awalnya identik dengan nama pendirinya, Sigmund Freud, sehingga penggunaan istilah psikoanalisa dan psikoanalisa Freud mulanya memiliki arti yang sama. Bahkan beberapa murid Freud yang beralih dari ajaran gurunya memilih untuk meninggalkan istilah psikoanalisa, seperti Carl Gustav Jung yang mememilih menggunakan nama psikologi analitis (analytical psychology) dan Alfred Adler dengan istilah psikologi individual (individual psychology). Seiring meluasnya penerimaan psikoanalisa dalam ruang keilmuan yang beragam, istilah tersebut akhirnya tidak hanya identik dengan Freud sebagai pendiri2.

Kelahiran sendiri psikoanalisa tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan. Kalimat testimonial Freud di awal artikel ini mengindikasikan penolakan yang kuat terhadap psikoanalisa, bahkan oleh psikologi yang sebenarnya memiliki kesamaan kajian dengan psikoanalisa ―psike manusia. Bahkan Eysenck, seorang psikolog behavioris di London yang berasal dari Jerman, menganggap sangat tidak mungkin memberikan predikat ilmiah bagi psikoanalisa karena tidak bersifat behavioristik.3 Penerimaan serta penolakan dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat akibat peliknya pembacaan atas kompleksitas manusia. Pembacaan atas manusia memang tidak pernah akan berakhir. Sejak perkembangan filsafat pada zaman Yunani kuno sampai era paska-modern (post-modern) pembicaraan tentang manusia masih selalu menyisakan ruang perdebatan. Manusia dapat dianalogikan sebagai teka-teki silang yang terdiri dari beberapa kotak kosong yang menyusunnya. Setiap deret kotak dapat diisi oleh pelbagai nama dan teori guna menjawab pertanyaan seputar manusia. Tapi teka-teki silang itu tidak pernah selesai dikerjakan, selalu menyisakan pertanyaan.

Soal adanya ketidaksadaran adalah yang paling kontroversial dari Freud. Sejak pertama kali diutarakan, penolakan untuk konsep yang asing di tengah kepercayaan kemandirian manusia sebagai mahluk yang sadar ini terus bergulir[1]4. Penolakan tersebut dapat dimaklumi tentunya, karena sangat terkait konstruksi epistimologis keilmuan modern yang bercokol kuat pada benak para saintis dan filsuf di era kelahiran psikoanalisa. Ketidaksadaran adalah kemustahilan di tengah keyakinan akan penuhnya kesadaran manusia sebagai mahluk yang berpikir. Freud yang mencurigai kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat libidinal yang berasal dari ruang ketidaksadaran, sempat menjadi buah bibir dan cemoohan. Hasrat memang sesuatu yang sering disingkirkan dalam pembicaraan filsafat dan pemikiran Barat. Plato menyebutnya sebagai sesuatu yang harus dikontrol ketat oleh akal karena tidak memiliki prinsip untuk mengatur dirinya sendiri[2]. Adagium Descartes Cogito Ergo Sum (aku berpikir maka aku ada) merupakan puncak pernyataan epistimologis pencerahan (aϋfklarung) yang menolak kekuasaan hasrat dan ketidaksadaran (atau juga pseudo-kesadaran) atas manusia yang sadar[3]. Seperti Plato, dalam anggitan Descartes akal merupakan substansi. Subjek cartesian meyakini manusia sebagai yang awas, sadar diri, rasional yang berangkat dari akal murni dan bukan hasrat atau bentuk-bentuk lain dari ketidaksadaran. Konsep ketidaksadaran dalam psikoanalisa menjadi pukulan telak ke inti subjek cartesian. Subjek cartesian yang ditahbiskan sebagai yang rasional dan bersandar pada akal murni dicurigai menyimpan hasrat libidinal dari dalam ruang bawah sadarnya. Hasrat ini tidak lain terlahir pada proses psikodinamis manusia[4]. Freud saat itu seperti menjanjikan sebuah cara pandang baru untuk melihat ketidaksadaran dan hasrat yang dalam pandangan sebelumnya terus dinyatakan terkontrol oleh akal-rasio manusia yang sadar. Psikoanalisa hadir untuk menyatakan bahwa hasrat yang berdiam dalam ketidaksadaran merupakan kekuatan yang mengontrol manusia yang mentahbiskan diri sebagai yang sadar dengan kekuatan akalnya. Kehadiran psikoanalisa tidak sebatas menghantam pandangan yang telah berkembang tentang psike (psyche) manusia pada ruang psikologi, tapi lebih jauh menghantam rasionalisme yang telah sekian lama diamini oleh para ilmuan dan filsuf.

Penolakan terhadap ide ketidaksadaran Freud tidak hanya muncul dari kelompok rasionalis melainkan juga datang dari para penggiat eksperimentalis (empirisme). Bagaimanapun, sungguh akan cukup sulit membuktikan adanya id (ketidaksadaran) pada manusia secara empirik. Hal ini yang memungkinkan Eysenck dengan begitu tajam menyerang Freud. Penolakan Eysenck atas psikoanalisa sebagai sebuah ilmu dengan alasan karena sifatnya yang tidak behavioristik, berarti ―setidaknya dalam pandangan behavioris ekstrem yang cenderung hanya mengamati sesuatu yang tampak sebagai perilaku― bahwa ketidaksadaran yang diusung oleh psikoanalisa merupakan sesuatu yang tidak tampak dan tidak teruji secara emprik. Sementara orientasi keilmuan umumnya merupakan orientasi pada dunia empiris[5].

Pada pembacaan lain atas Freud selanjutnya, para pembaca menunjukkan bahwa psikoanalisa Freudian telah ingkar pada janji sebelumnya untuk mengungkap kekuatan dan dorongan ketidaksadaran dalam diri manusia. Adagium Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana ada id selalu ego berpatroli) menunjukkan bahwa Freud gagal mewujudkan janji psikoanalisa. Ego yang sadar dalam konsep Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran (id) tetap terkontrol dalam pengawasan ego yang sadar. Freud dituduh oleh beberapa pembacanya tengah ikut dalam pemujaan ego cartesian. Di sinilah ambiguitas Freud terungkap ke permukaan.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisa telah memberikan sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu, termasuk psikologi sendiri yang akhirnya menerima psikoanalisa. Pembacaan atas psikoanalisa Freudian pun telah ikut melahirkan berbagai teori dan pendekatan baru pada berbagai bidang ilmu yang dengan tangan terbuka maupun setengah-setengah menerima kehadirannya. Psikoanalisa kini telah lebih bisa diterima sebagai sebuah cara pandang baru tentang manusia bagi berbagai ilmu, meski masih menyisakan kontroversi. Pembacaan terhadap Freud pun serasa tidak pernah berhenti. Prinsip-prinsip psikoanalisa yang dibangunnya terus menjadi perhatian tidak hanya dari kelompok psikolog atau psikoanalis sendiri. Kritik, pengungkapan dan pembaharuan pandangan terhadap karya-karya Freud terus dilakukan oleh para saintis dan filsuf. Harus diakui bahwa Freud merupakan salah satu inspirator penting dalam perkembangan paradigma ilmu sekarang.

Salah satu pembaca Freud yang tekun adalah Jaques Lacan, seorang psikoanalis asal Perancis. Di tangan Lacan, psikoanalisa Freud berkembang menjadi aliran psikoanalisa baru yang sangat mengagumkan. Dengan semangat “Kembali pada Psikoanalisa”, Lacan memasukkan enersi linguistik struturalisme, beberapa gagasan dari antropologi dan filsafat ke dalam psikoanalisa. Lacan sering dikenal sebagai sintesa Freud dan Saussure dengan sedikit sentuhan Lévi Strauss, Heidegger dan Jaques Derrida. Persentuhan pelbagai pemikiran dan aliran keilmuan inilah yang akhirnya membuat karya Lacan dikenal sebagai pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari. Selain itu, kegemaran Lacan menggunakan idiom-idiom asing dan baru untuk memperkuat psikoanalisa yang dikembangkannya lebih memperumit upaya untuk mendekati pemikirannya[6].

Seperti penolakan terhadap psikoanalisa Freud pada awal kemunculannya, Lacan juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Penerimaan atas psikoanalisa lacanian di dunia psikologi terasa sangat terlambat. Sementara cultural studies ―cukup sulit untuk menemukan padanan kata ini dalam penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sosiologi paskamodernisme dan filsafat telah banyak mengambil manfaat dari pemikiran Lacan, dunia psikologi masih sering bungkam, belum mengambil sikap terbuka terhadap aliran psikoanalisa ini.

Tulisan ini lebih merupakan sebuah introduksi seputar psikoanalisa Lacan yang tentu sangat jauh dari memadai untuk memaparkan luas dan rumitnya pemikiran Lacan. Dalam tulisan ini diungkap sekelumit pandangan Lacan tentang ketidaksadaran dan sebuah contoh pembacaan ala lacanian tentang fenomena konsumerisme yang tengah aktual kini. Sebagai introduksi tulisan ini merupakan sebuah ajakan. Seruan untuk membuka pintu, mempersilahkan Lacan secara lebih bebas masuk ke ruang obrolan keseharian psikologi sebagai pemerkaya.

Jaques Lacan: sebuah Pembacaan

Kemunculan psikoanalisa merupakan hantaman kedua bagi kemapanan rasionalisme dan humanisme keilmuan barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subyek. Setelah Nietzsche mencurigai kenginan subyek yang rasional ala cartesian dipenuhi hasrat akan kekuasaan, psikoanalisa menyatakan keterhubungan antara kesadaran dengan ruang ketidaksadaran yang tidak tertundukkan. Psikoanalisa secara telak memukul inti kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cogitan.

Freud membangun konsep topografi kepribadian manusia yang terbelah menjadi dua ruang; kesadaran dan ketidaksadaran. Ruang kesadaran adalah ruang yang terapung-apung di atas ruang ketidaksadaran. Pengaruh ruang ketidaksadaran akan selalu mucul secara tidak dinyana dan disadari ―bahkan― oleh kesadaran subyek. Ketidaksadaran merupakan buah dari kompleksitas konflik psikis yang terjadi pada masa perkembangan perversitas polimorfosis bayi. Pada perkembangannya kemudian, Freud sedikit berbelok dari anggitan pertamanya. Berharap dapat mengurangi represi, Freud mendeklarasikan Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana Id, disana ada ego) yang berarti kemenangan ego (kesadaran) atas id. Ego yang terdiri dari identitas diri dan kedirian yang rasional akan senantiasa mengantisipasi kemunculan id dan menggantikannya saat muncul ke permukaan. Di titik inilah Freud didera banyak cemoohan dan kritik.

Jaques Lacan merupakan salah satu pembaca Freud yang secara tegas menolak anggitan Freud tentang berkuasanya ego atas id. Lacan merupakan seorang psikoanalis kebangsaan Perancis yang begitu berminat pada ide-ide Freud muda ―Freud yang dianggap masih memiliki tenaga untuk mempertahankan kekuatan ketidaksadaran sebagai faktor pendorong kepribadian. Bagi Lacan, kontrol ego atas id adalah sesuatu yang mustahil. Bagaimanapun, ego merupakan sebuah produk jadi dari id yang terbentuk melalui mekanisme kesalahan mengenali (méconaît) diri di hadapan cermin pada sebuah fase yang disebut fase cermin (statu de miroir). Ego adalah ilusi atau pseudo-identitas[7]. Stadu de miroir merupakan fase yang pada akhirnya menentukan keseluruhan identifikasi dalam diri manusia. Keseluruhan eksistensi manusia, menurut Lacan, mau atau tidak, dipengaruhi dan dikontrol oleh ketidaksadaran[8]. Itulah jantung pemikiran Lacan.

Ketidaksadaran terstruktur seperti halnya bahasa. Itulah sisi lain pemikiran Lacan. Ia menekankan arti pentingnya bahasa dalam pelbagai hubungan kesadaran dan ketidaksadaran. Penekanan tersebut merupakan hasil dari pembacaan Lacan atas prinsip-prinsip psikoanalisa freudian dan tidak terlepas pula dari pengaruh aliran surealisme dalam dunia kesenian. Bagi seorang surealis, suatu gambaran simbolik (lambang-tanda) dapat saja merujuk makna yang plural, atau mewakili beberapa makna yang berbeda. Pengertian ini sering direpresentasikan dalam karya-karya surealistik yang memperlambangkan makna tertentu dengan simbol-simbol berbeda. Pada bentuk lainnya, surealisme sering menghadirkan beberapa simbol yang tidak sinkron dalam kesatuan pembentukan makna. Sementara, kesadaran bagi Freud, terstruktur oleh bahasa dan tanda-tanda yang didiami oleh ketidaksadaran[9]. Analisa yang dilakukan oleh Freud selama praktik psikoanalisanya menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menunjukkan secara langsung problem psikisnya, melainkan dengan memainkan simbol-simbol penuturan bahasa. Penceritaan oleh pasien yang merupakan lambang dalam bahasa harus dianalisa untuk menemukan bentuk trauma sebenarnya. Interpretation of Dream, sebuah karya monumental Freud juga mendemonstrasikan penafsiran lambang tersebut. Mimpi adalah bentuk perlambangan yang diyakini sinkron dan terhubung dengan beberapa kenyataan dalam hidup pasien. Makna mimpi adalah trauma yang kembali atau sebuah pemenuhan atas yang tidak tercukupi ―setidaknya secara psikis. Kembalinya trauma-trauma dan ketidakcukupan tersebut tidak secara langsung bersifat naratif, melainkan dengan membentuk suatu konfigurasi perlambangan. Makna mimpi selalu diwujudkan dalam simbol-simbol, titik. Namun, makna bagi Freud maupun Lacan bersifat tidak tetap dan bergantung pada penggunaan individual dan kultural. Hal ini bertolak belakang dengan Jung yang menyatakan bahwa makna senantiasa bersifat statis.

Berangkat dari pembacaan atas Freud tersebut, Lacan meyakini bahwa psikoanalisa harus dapat menjadi semacam ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif mempergunakan bahasa dalam analisisnya. Di sinilah Lacan tidak hanya menarik linguistik ke dalam ruang psikoanalisa, tetapi juga membangun sebuah sintesa psikoanalisa-semiotika. Dalam kamus psikoanalisa Freudian terdapat pula beberapa contoh kategori penting yang berkaitan dengan operasional bahasa dan lambang dalam keseharian, yakni lelucon, gejala-gejala, kekeliruan-keliruan hidup sehari-hari dan impian-impian. Kesemua fenomena tersebut terkait dengan permainan bahasa dan bersumber dari ruang bawah sadar.

Lacan menekankan pentingnya pamahaman “fungsi kata” yang dalam kondisi psikoanalitik dikenal dengan istilah treatment. Penjelajahan fungsi kata diyakini dapat membawa kita ke dalam penjelasan bagaimana ketidaksadaran terbentuk dan terus beroperasi. Dalam menjelaskan fungsi kata tersebut Lacan menggunakan istilah subyek[10] (segala tentang pribadi/aku) dan penanda (signifier) yang ―dalam makna lacanian― berarti kata itu sendiri. Penanda[11] merupakan perwalian dari subyek untuk berkomunikasi, mengungkapkan diri dan bermimpi. Keduanya (subyek dan penanda) dalam kosa kata lacanian mengandung makna yang beroposisi secara biner (binary opposition). Semboyan Lacan “kembali pada penanda” bermakna ajakan kembali pada pembicaraan tentang ruang ketidaksadaran.

Untuk menjelajahi hubungan antara subyek, tanda dan makna, Lacan banyak terinspirasi semiologi[12] strukturalis Sassurean, meski dengan melakukan beberapa modifikasi dan penyesuaian. Berbeda dengan Saussure, Lacan hanya berfokuskan pada hubungan di antara penanda-penanda itu sendiri. Bagi Lacan, tidak ada yang dirujuk oleh penanda, atau penanda tidak merujuk pada suatu konsep apapun selain dirinya itu sendiri. Relasi penanda (signifier) merupakan relasi negatif yang berarti suatu penanda adalah penanda bagi dirinya sendiri bukan pada yang lain. Relasi tersebut juga merupakan relasi yang tidak terhenti. Inilah bentuk operasional ketaksadaran dimana akan selalu terjadi pengulangan, pergeseran dan sirkulasi yang tidak henti dalam sistemnya. Ketidaksadaran adalah bentuk yang tidak memiliki titik pemberhentian, titik. Berangkat dari anggitan relasi negatif antar penanda, bagi Lacan, menjadi dewasa berarti berupaya menghentikan gerak relasional antar penanda tersebut agar ―setidaknya― relasi tersebut menjadi lebih stabil. Namun sekali lagi kestabilan merupakan bayang-bayang atau pseudo-kestabilan. Ego yang dianggap telah mampu melakukan stabilisasi hubungan relasional antar penanda tetaplah ilusi, buah karya ketidaksadaran, mispersepsi dalam tahapan cermin saat manusia masih berupa seonggok daging yang bernama bayi ―infant; enfans = belum bersuara[13]. Karena proyek pengenalan diri dalam ego menghasilkan sesuatu yang ilutif tentang konsep diri ―ego ideal, maka segala bentuk upaya memberhentikan relasi penanda oleh sistem ilutif tersebut akan hanya menghasilkan ilusi-ilusi baru yang dirasa sebagai kestabilan.

Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan perversitas polimorfosis saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa ―seperti halnya pada pandangan Freud― yang berkaitan dengan relasi bayi dan ibu. Dalam psikoanalisa Freudian, seorang bayi mengalami tiga fase perkembangan perversitas polimorfosis, yakni oral, anal dan phalik. Ketiga fase tersebut merupakan lintasan menuju fase genital yang merupakan fase akhir yang identik dengan fase kedewasaan. Dalam ketiga fase itu pula terjadi berbagai ketegangan psikis seperti kompleks oedipus dan kompleks kastrasi sebagai bentuk formasi penyesuaian serta upaya mengkomunikasikan kebutuhan dan upaya pemenuhannya. Tahap genital adalah tahapan berakhirnya kateksis-kateksis narsistik yang beroperasi pada masa pragenital. Kateksis-kateksis narsistik yang beroperasi pada fase pra-genital berarti manipulasi dan stimulasi individu pada tubuhnya sendiri demi kepuasan tertentu. Sedang pada fase genital hasrat narsistik tersebut mulai mengalir ke arah yang sebenarnya. Di dorong oleh motif-motif altruistik yang bukan semata “cinta diri”, orang dewasa akhirnya mengarahkan cinta pada obyek yang tepat dan sebenarnya, yakni orang lain[14]. Lacan memiliki penjelasan lintasan perkembangan perversitas pilimorfosis yang berbeda dengan Freud, ia mempertemukan konsep kebutuhan―permintaan―hasrat (need-demand-desire) dengan lintasan fase Yang Real―Yang Imajiner―Yang simbolik. Pada penjelasan kesemua istilah tersebut bahasa memperoleh tempat yang cukup dominan.

Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi manusia, kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat ―terutama ibu― akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan. Bayi bagi Freud dan Lacan adalah manusia ―ekstremnya seonggok daging― yang belum terbentuk menjadi individu atau tanpa pemahaman akan dirinya sebagai manusia yang utuh dan terlepas dari yang lain. Yang berdiam dalam bayi hanyalah kebutuhan dan segala pemenuhannya. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam Yang Real yang merupakan “fase sebelum pikiran”[15]. Bahasa tidak pernah ada di ruang ini karena tidak ada kehilangan, kekurangan dan ketidaan. Yang ada hanya kepenuhan, titik. Masuknya bahasa adalah keterpecahan bayi. Bayi yang awalnya hanyalah seonggok daging dan tidak mengerti apa-apa, seperti mendapat kutukan, masuk ke dalam dunia yang telah terlebih dahulu dipenuhi oleh bahasa ―atau dalam pengertian yang sama dapat digunakan istilah diskursus (discourse); yang simbolik. Bayi yang tidak mengerti apa-apa tersebut, oleh manusia dewasa, diberi identitas sebagai manusia. Menggunakan bahasa berarti kehilangan segala sifat kepenuhan, inilah titik awal keterpecahan.

Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya ―meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan― bayi mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand). Istilah permintaan dalam kosa kata Lacanian memang cukup rumit untuk dipahami dan dijelaskan. Permintaan adalah adalah sesuatu yang tidak dapat ―atau tidak mungkin― terpenuhi. Saat mulai menyadari akan adanya liyan yang terpisah dari dirinya, bayi seperti ingin kembali kepada keutuhan sebelumnya. Bayi ingin segala tentang yang liyan menghilang. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase Yang Imanjiner. Fase Yang imajiner tetaplah berada pada titik pra-bahasa dan dikendalikan oleh logika visual bayi.

Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (stadu de miroir). Bayi suatu ketika akan menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan[16]”, tidak setara dengan ―bahkan bukan― aku yang sebenarnya.

Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan aleniasi. Aleniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah[17]. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri atau terceburnya bayi ke dalam citra yang salah atau ego ideal. Dalam Yang Imajiner bayi terus akan melakukan identifikasi pelbagai Liyan menggunakan citra yang diperoleh dari cermin. Pengenalan Keliyanan (otherness) semakin meneguhkan pangakuan bahwa citra cerminal adalah “aku”. Di sinilah, bagi Lacan diri selalu dilihat dari yang liyan.

Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang Keliyanan, tataran Yang simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadi akuisisi bahasa. Yang simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku dinyatakan melalui bahasa. Tidak seperti alur perkembangan pervesitas polimorfosis freudian yang runtut, Yang Imajiner dan Yang simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpah tindih, saling bermunculan dan koeksis. Di dalam tataran yang simbolik, di sanalah hasrat (desire) berdiam.

Perpisahan dari ibu adalah yang mutlak bagi bayi untuk masuk ke dalam sebuah kebudayaan. Namun perpisahan tersebut menyisakan rasa kehilangan kehilangan yang akan terus bersirkulasi. Ibu merupakan obyek kehilangan yang pertama dan utama bagi bayi. Inilah berbeda dari Freud, ayah yang meretakkan bayi dan ibu dinilai Lacan bukanlah sebagai ayah biologis, melainkan ayah simbolik atau hukum atas―nama―ayah (nom-du-pere / name—of—the—father). Ayah simbolik dapat berupa apapun yang menghalangi atau memisahkan bayi dari ibu. Lacan memang sangat terpengaruh oleh Roman Jakobson. Karena itulah ia menyerupakan kondensasi dan pemindahan ala Freudian dengan konsep metafor dan metonimi[18]. Untuk itu, sering kali pembacaan atas konsep Lacan harus menggunakan kedua pendekatan linguistik tersebut. Makna ibu dan hubungan dengan ayah penting untuk ditelisik melalui pendekatan metaforis. Kedudukan ibu juga kedudukan yang feminin cenderung menjadi kedudukan Yang Real, sementara ayah akan membangkitkan Yang Simbolik. Bersatunya ibu dan bayi akan memperlambat perkembangan bahasa, yang berarti keterlambatan memasuki tataran Yang simbolik. Ayahlah yang berperan memutuskan kelekatan dan penyatuan bayi dari ibu agar masuk dalam dunia bahasa —Yang Simbolik. Fungsi metaforis sangat kental dalam alur pemikiran Lacan. Bahkan istilah “cermin” dalam Yang Imajiner juga memiliki fungsi metaforis, yakni “pandangan ibu” yang membuat bayi berkeyakinan bahwa ibu sedang memandang yang lain, yakni bayi itu sendiri. saat itulah bayi mulai merasa adanya keterpisahan ibu dan dirinya.

Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika tercebur ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Penanda, intinya beroperasi secara negatif. Sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Artinya, penanda beroperasi dengan hukum perbedaan. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya ibu —sebagai petanda— melainkan secara berbeda menunjuk adanya ayah. Karena ketundukan pada rotasi dan permainan penandaan inilah, mencapai identitas akan kembali menjadi mustahil. Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini. Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.

Bentuk lain dari hasrat adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subyek yang utuh, tidak terbelah dan tanpa kekurangan dan penuh dengan pemenuhan. Hasrat ini berarti hasrat kembali pada Yang Real, yang telah menghilang saat akuisisi bahasa. Hasrat untuk kembali pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol.

Kekurangan (lack) adalah ibu kandung dari hasrat. Secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia seperti merupakan ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi. Dalam bahasa Lacan, tidak mungkin kembali pada yang Real. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam tataran yang real, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

[1] Bagi Freud terdapat dua alasan kuat atas penolakan atas cara pandang psikoanalisis, yakni kesulitan menerima pandangan atas adanya determinisme ketat dan menyeluruh dalam hidup psikis dan ketidaktahuan sebagian besar orang tentang sifat-sifat khusus yang membedakan proses-proses psikis tidak sadar dengan pelbagai proses sadar yang terbiasa dalam kehidupan manusia. Lihat Ceramah Ke lima Freud dalam Psikoanalisis Sigmund Freud. Terj Karl Bertens. Gramedia Pustaka: 2006. Hal 96

[2] Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta. Bulan Bintang: 1984. hal 78

[3] Menghadapi adagium cartesian, Lacan menyatakan “Je ne suis pas, lá où je suis le jouet de ma pensee; je pense à ce que je suis, là où je ne pense pas penser.” (I am not, there where I am the plaything of my tought; I think about what I am, there where I do not think that I am thingking). Subjek Cogito yang sadar bagi Lacan di dorong oleh ruang ketidaksadaran yang dapat saja berkata “aku berpikir” atau “aku..”. Lihat Jaques Lacan. The Language of the Self , the Fuction of Language in Psychoanalisys. Dalam komentar penerjemah oleh Anthoni Wilden. New York. Delta Book: 1968. hal 183

[4] Cogito merujuk pada ego yang disebut oleh Lacan sebagai “false being”. Lihat Bruce Fink, The Lacanian Subject, Between Language and Jouissance. New Jersey. Priceton University. Hal 42-44.

[5] Jujun S. Suriamantri, Ilmu dalam Perpektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, cet ke xvi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: 2003. hal 6. Lihat pula Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat. Terj HM. Rasjidi. Jakarta. Bulan Bintang: 1984. hal 234.

[6] Hal tersebut dipersulit dengan sikap Lacan yang tidak tertarik menuliskan pemikirannya. Beberapa ceramah ilmiah Lacan baru diterbitkan setelah kematiannya, selebihnya sebatas catatan-catatan tidak resmi dari seminar-seminarnya. Lacan mencela publikasi dengan menyebutnya sebagai poubellication (bahasa perancis), dari kata poubelle yang berarti keranjang sampah. Lihat Philip Hill, Lacan Untuk Pemula, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta. Kanisius: 2002. hal 7

[7] Lihat Antony Wilden,.. Hal 159-160.

[8] Bruce Fink,..hal 36-37

[9] Muhammad Alfayyadl. Derrida, Cet ke-2 .Yogyakarta, LKiS. 2006. hal 123

[10] Dalam seminar ke XXIII Lacan menyebutkan bahwa subjek bukanlah seperti yang dikira. Artinya subyek tidak pernah lebih dari sekedar asumsi dalam diri kita. Subjek bukan merupakan sesuatu yang kita sebut sebagai subjek yang sadar seperti yang berkembang dalam filosofi Anglo-Amerika. Lacan menggunakan lambang “S” dengan palang yang melintang ditengahnya ($) untuk menyebut subjek yang menunjukkan bahwa subjek senantiasa dalam kondisi terbelah. Artinya, selalu ada yang menghalangi subyek untuk mencapai apa yang dikehendaki atau menjadi utuh. Lihat Bruce Fink,..hal 35. Lihat pula Philip hal,..hal 33

[11] Istilah tanda (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified) kesemuanya merupakan istilah yang terlahir dan berkembang di ranah semiotika. Tanda dalam pandangan strukturalisme Saussurean merupakan entitas psikolgis yang bersisi-dua, terdiri dari unsur penanda (berupa citra atau bunyi) dan petanda (“sesuatu yang ditandai” atau sebuah konsep). Kedua elemen tersebut menyatu dan saling bergantung satu sama lain. Kombinasi keduanya (antara penanda dan petanda) inilah yang kemudian menghasilkan sebuah tanda. Penanda merupakan aspek sensoris dari tanda-tanda, yang dalam bahasa lisan berwujud citra bunyi atau citra akustik yang berkaitan dengan konsep (petanda) tertentu. Substansinya senantiasa bersifat material seperti bunyi, objek-objek, tulisan, dll. Sedikit berbeda dengan konsep Saussure tersebut, Lacan, sebagaimana Roland Barthes, menolak anggitan relasi antara penanda dan petanda. Bagi keduanya penanda beroperasi secara bebas. Dalam kosakata Lacan penanda berarti kata atau lambang. Lihat Lihat Kris Budiman. Kosa Semiotika. Yogyakarta. LKiS, 2006. hal 115 dan 93

[12] Istilah semiologi merupakan istilah yang digunakan oleh Fendinand De Saussure untuk menunjuk sebuah ilmu umum tentang tanda. Dalam definisi Saussure semiologi merupakan ilmu yang secara khusus mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat, dengan demikian menjadi sebuah bagian dari psikologi sosial. Namun pada perkembangannya, penggunaan istilah semiologi semakin jarang digunakan, digantikan oleh istilah semiotika yang lebih populer. Istilah ini tetap oleh tokoh-tokoh tertentu di Perancis yang ingin membedakan bentuk pemikiran mereka dengan pemikiran semiotika yang berkembang di Amerika dan Italia. Ibid. hal 107-108

[13] Lihat penjelasan istilah ini dalam Jhon Lechte. 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj Gunawan Admiranto. Yogyakarta. Kanisius, 2001. hal 115.

[14] Calvin, S. Hall dan Gardner Lindzey. Teori-teori Psikodinamik (Klinis), terj. Yustinus. Yogyakarta. Kanisius, 1993. hal 90-96

[15] Bruce Fink,..hal 25

[16] Lacan mempergunakan kata liyan (other) dalam berbagai bentuk yang berbeda yang mempersulit pemahaman atas makna kata tersebut. Cara termudah memahami liyan adalah sesuatu yang selain aku. Tapi dalam tahapan cermin liyan dapat menjadi aku. Liyan adalah aku. Citra dalam cermin bagaimanapun adalah selain aku yang diintrodusir sebagai aku. Liyan sebagai aku disebut liyan (dengan huruf Lacan kecil ―other) yang berbeda dengan Liyan (dengan huruf l besar―Other) yang berarti liyan-liyan selain “aku” yang liyan. Liyan (L―mOther) dapat berarti ibu, ayah atau liyan-liyan lain yang eksis di luar liyan.

[17] Bruce Fink,..49-50

[18] Metafora dalam pandangan Roman Jakobson berarti segala yang mengacu pada penggantian kata yang harfiah dengan kata lain yang figuratif. Penggantian kata secara metaforis lebih bersifat analogis. Metonimi merupakan pertautan kata per kata. Penggantian metonimik dapat terjadi berdasarkan hubungan asosiatif antara kata yang harfiah dengan penggantinya. Hal-hal yang berhubungan secara logis (sebab akibat-kausalitas), keseluruhan dan bagian, atau yang dapat diketemukan dalam konteksnya yang familiar, kesemuanya membangun hubungan yang metonimik antara satu dengan yang lainnya. Lihat Kris Budiman,..hal 73-74.

Read More......

Sabtu, 30 Agustus 2008

MEMBACA JAWA: STUDI ATAS INTERAKSI KEBUDAYAAN JAWA, HINDU, BUDHA SEBELUM ISLAM

Poenika sejarahipoen para ratoe ing tanah Jawi, wiwit saking nabi Adam, apepoetra Sis. Esis apepoetra Noertjahja. Nurtjahjo apepoetra Noerasa. Noerasa apepoetra Sahyang Wening. Sahyang Wening apepoetra Sanhyang Toenggal. Sahyang Toenggal apepoetra gangsal, anama batara Sambo, batara Brama, batara Maha-Dewa, batara Wisnoe, dewi Sri. Batara Wisnu waoe djomeneng ratoe wonten ing poeloe Jawi, adjedjoeloek praboe Set. Kedatonipun batara Goeroe anama ing Soera-Laja1.

Dalam pengantar buku Etika Jawa, Frans Magnis Suseno memberikan sebuah interpretasi pengantar yang cukup menarik diperhatikan berkenaan dengan kebudayaan Jawa. Jawa dinilai sebagai sebuah yang memiliki kekokohan untuk menjadikannya tetap eksis. Kedatangan agama Budha ke dalam kebudayaan Jawa tidak menciptakan Jawa yang Budha. Masuknya agama Hindu juga tidak mampu menciptakan Jawa yang Hindu. Begitupun Islam, betapa luasnya pengaruh agama ini, terlebih paska kemunduran dan kehancuran kerajaan Majapahit yang ditandai dengan kebangkitan Demak, tidak mampu menciptakan Jawa yang Islam. Yang terbentuk dari semua persentuhan agama-agama tersebut adalah Budha, Hindu dan Islam yang Jawa, bukan sebaliknya.
Nukilan paragraph pembuka Serat Babad Tanah Jawi di atas juga menunjukkan betapa Jawa merupakan sebuah kebudayaan yang memiliki heterogenitas unsur yang cukup kompleks. Jawa telah mengalami dua mutasi —meminjam istilah Lombard— kebudayaan dalam struktur masyarakatnya; mutasi kebudayaan bersama datangnya Hindu dan Budha —indianisasi— serta mutasi yang terjadi dalam persentuhannya dengan Islam. Term mutasi secara implisit mengilustrasikan proses internal yang dinamis dalam struktur kebudayaan Jawa. Proses yang tidak menegasi secara keseluruhan pelbagai unsur-unsur yang datang dengan tidak pula melakukan pemusnahan unsur-unsur yang sebelumnya telah ada dalam struktur sebelumnya. Mutasi mengandaikan sebuah perubahan perlahan yang membentuk satuan bagian baru dalam sebuah satuan besar kebudayaan Jawa.
Tulisan sederhana ini mencoba memaparkan sekelumit asumsi tentang relasi anasir pelbagai kepercayaan di Jawa yang membentuk sebuah keutuhan kebudayaan Jawa. Semoga dapat membantu pemahaman kita bersama dalam studi Islam dan Budaya Lokal.
Problematika Cara Pandang Terhadap Kebudayaan Jawa
Studi kebudayaan Jawa seakan telah usai paska penerbitan studi fenomenologis Clifford Geerzt, Religion of Java. Karya ini seperti menjadi ilham utama studi-studi atas Jawa setelahnya. Meski demikian, karya Geerzt belumlah selesai menelaah kompleksitas Jawa sebagai sebuah keutuhan sistem kebudayaan. Karya ini memang sempat mengisi kekosongan studi komprehensif tentang Jawa Paska penerbitan History of Java karya Sir Thomas Raffles (1917), namun sedahsyat karya ini dipuji, sehebat itu pula kritik disampaikan atas karya sang Maestro tersebut. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa religion of Java belumlah memetakan keseluruhan ruang masyarakat Jawa, masih terdapat ruang luas untuk terus membicarakan dan memperdebatkan persoalan kejawaan paska Geerzt. Apa yang menyebabkan Geerzt begitu dipuja, mengilhami para antropolog, sejarawan, dan sosiolog setelahnya yang menggeluti studi tentang Jawa? Apa pula yang telah menyebabkan karya ini menjadi problematis bagi sebagian pengamat dan ilmuan tentang Jawa? Kedua pertanyaan ini akan menghantar kita pada pembahasan tentang pelbagai cara pandang secara umum tentang kebudayaan Jawa.
Nyaris tak ada studi antropologi, sejarah dan sosiologi tentang Jawa dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang anasir agama asli maupun yang masuk dan berkembang kemudian. Dalam konteks ini, pernyataan Christoper Dawson bahwa agama adalah kunci sejarah manusia menemukan pembenaran2. Jawa yang telah bersentuhan dengan pelbagai agama telah berproses secara internal menuju sebuah bentuk yang dikenal sekarang. Pembicaraan tentang Jawa dipastikan membutuhkan ketelitian memerhatikan unsur-unsur yang tumbuh dan berkembang seperti kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Jawa diasumsikan memiliki akar kepercayaan arkhaik yang khas sebelum kedatangan agama-agama. Animisme dan dinamisme adalah sepasang kepercayaan yang kerap dilekatkan guna menjelaskan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Masuknya Hindu, Budha dan Islam mendorong terciptanya kebudayaan Jawa yang beranasir lebih kompleks. Masuknya ketiga agama tersebut kedalam masyarakat Jawa tidak serta merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan arkhaik masyarakat Jawa. Kesetiap kepercayaan meninggalkan sisa-sisa —lebih tepatnya menggunakan kata etos— dalam masyarakat, baik agama arkahik, Hindu dan Budha.
Dalam konteks studi Islam Jawa inilah, pelbagai peninggalan bentuk-bentuk keberagamaan sebelum Islam yang ada dan berkembang di Jawa menjadi problematis. Islam Jawa memiliki keunikan tersendiri tinimbang bentuk-bentuk kesilaman lain yang berkembang di wilayah lain bahkan di Jazirah Arab sebagai asal kelahirannya. Setidaknya ada dua alasan mengapa dalam studi Islam Jawa sering menjadi cukup problematis. Pertama, Penggunaan Islam di Jazirah Arab sebagai prototipe rujukan satu-satunya yang menutup interpretasi bahwa Islam sebagai sebuah agama memiliki kemungkinan berinteraksi, berkomunikasi serta berakulturasi dengan anasir kebudayaan lainnya. Kedua, cara pandang yang hanya menitikberatkan ke arah salah satu bentuk keislaman —seperti syari’ah semata atau sufisme—seperti yang dilakukan oleh Geerzt. Pandangan kedua ini seakan melihat Islam sebagai satu sisi yag final sehingga bentuk-bentuk baru yang muncul di ruang kebudayaan tertentu sulit untuk tatap dikategorikan sebagai tetap Islam.
Terma sinkretik adalah pilihan yang sebenarnya menyudutkan Islam Jawa. Terma ini terlanjur diterima dan disosialisasikan untuk menyebut keislaman kebanyakan orang Jawa. Sebagai anakannya maka muncullah istilah-istilah lain seperti “Islam KTP” dan “Islam Abangan” yang mengindikasikan betapa kurang sempurnanya keislaman orang Jawa karena kentalnya anasir Hindu, Budha serta kepercayaan arkahik mereka.
Pandangan umum tentang Jawa telah sampai pada kesimpulan bahwa Interaksi cukup kuat antar agama-agama yang masuk ke Jawa menciptakan bentuk keislaman yang tidak lagi murni dan terbebas dari unsur-unsur yang tidak Islami, atau ;lebih tepatnya tetap dipengaruhi secara dominan oleh anasir agama sebelumnya. Van Ossenbrugen memandang Jawa sebagai pengejawantahan sistem mandala3 dalam kepercayaan Hindu4. Konsep mandala mensakaralkan angka empat dan lima dengan memuncukan konsep monco-pat/mancapat5. Menggunakan perspektif Lombard, konsep ini memang dapat diklasifikasikan sebagai sebuah peninggalan esoteris yang tersisa dari kebudayaan Jawa pada mutasi pertamanya —indianisasi. Meski konsep mancapat tidak lagi dipergunakan sekarang, namun konsep tersebut tetap menjadi penanda khusus dalam kesadaran masyarakat Jawa6. Konsep mata angin tidak hanya berkaitan dengan konsepsi Dewa dengan wewenang masing-masing, melainkan juga berkaitan dengan logam, warna, hewan dan angka-angka.
Pada anggitan lain, Pigeud mengandaikan bahwa konsep petungan7 merupakan sebuah konsep propechy dalam kepercayaan Jawa yang lebih bersifat animistik8. Petungan dinilai sebagai konsep metafisika sekaligus sebagai ensiklopedia orang Jawa. Rumusan Nasib Manusia dinilai dari arah matangin atau Jenis hari9. Pada pandangan lain CC Berg melihat pandangan masyarakat Jawa merupakan peninggalan kepercayaan Hindu. Contoh yang ditekankan oleh Berg adalah konsepsi Ratu Adil yang dipercaya akan mampu membawa keluar manusia dari jerat kemelut kehidupan pada era kaliyuga10. Ratu adil adalah pilihan Sahyang Tunggal yang diturunkan untuk membebaskan manusia dari jerat kesusahan dan kemelut.
Untuk menganalisa Istilah petungan alangkah baiknya dengan memerhatikan catatan L.C Damais tentang Sadwara11 dan Pancawara12 . Damais melihat adanya ketidakterkaitan istilah ini dengan istilah sanksekerta. Damais meyakini istilah ini merupakan istilah yang asli merupakan produk kepercayaan dan kebudayaan Jawa. Kertekaitan sadwara dan pancawara dalam kosmogoni Jawa digunakan untuk menemukan keharmonisan upaya kehidupan seperti untuk menetukan waktu tanam, perjodohan, watak manusia dan nasib13.
Pada pandangan lain, Istilah petungan —termasuk sadwara dan pancawara— mungkin saja berkaitan dengan kepercayaan Berg akan adanya anasir hindu yang bertahan, terutama keyakinan akan kedatangan Ratu Adil. Dalam Pandangan G.W.J Drewes kepercayaan terhadap Ratu Adil berkaitan dengan kosmogoni india tentang Yuga. Pada era Kaliyuga akan muncul zaman yang dinamakan kalabendu (zaman malapetaka) atau yang disebut-sebut dalam serat kalathida karya raden Mas Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) sebagai zaman edan. Zaman edan merupakan zaman kebobrokan mental manusia yang menuntut adanya sebuah pembaharuan manusia dengan kedatangan ratu adil14.
Intisari dari kesekian pandangan tentang Jawa yang dilontarkan Pigeud, Ossenbrugen dan Berg ini adalah bahwa Jawa adalah bagian dari masa lalu yang beridentitas animisme, dinamisme, Hindu, Budha. Interpretasi seperti ini cenderung menjustifikasi Jawa sebagai kebudayaan yang final. Cara pandang seperti ini tidak mungkin untuk dijadikan sumber acuan utama dalam kajian kejawaan.
Pandangan lain yang cukup terkenal adalah pandangan dikotomis yang dimunculkan oleh Clifford Geerzt dalam Religion of Java yang mengkalisfikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategori besar; Santri, Abangan dan Priyayi15. Kesetiap kategori tersebut merepresentasikan peran dan pengamalan keberagamaan yang sangat berbeda. Santri adalah yang dianggap Geerzt sebagai yang paling islami dalam struktur masyarakat Jawa. Santri adalah kelompok yang mampu merepresentasikan agama secara benar berdasarkan tatanan syariah. Sementara kelompok priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih diyakini sebagaio warisan dari keagamaan Hindu dan Budha sebelum Islam. kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa —animisme. Ekstremnya, dalam tesis ini Geerzt memandang bahkan santri sebagai representasi kelompok bergama masyarakat Jawa yang paling Islami masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan kepercayaan Hindu dan Budha yang telah terlebih dahulu melekat pada kebudayaan masyarakat Jawa. Secara sekilas dapat disimpulkan bahwa Geerzt telah menilai masyarakat Jawa secara nominalis16. Kritik terbesar atas karya Geerzt disampaikan oleh Marshall Hodgson dalam the Venture of Islam. Hodgson dengan tetap memandang karya Geerzt sebagai karya penting dalam studi Asia Tenggara, mempertanyakan kesimpulan Geerzt yang cenderung meragukan keislaman masyarakat Jawa. Baginya, jika praktek masyarakat Jawa dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, mengapa Islam dengan begitu masif telah mampu merubah struktur kebudayaan masyarakat Jawa? Sikap Geerzt ini menurut Hodgson merupakan akibat dari sebuah sudut pandang yang lebih mengutamakan satu sudut pandang untuk memnadang fenomena keislaman masyarakat Jawa. Geerzt dinilai menginterpretasikan kebudayaan Jawa dengan teorama syariah minded yang menutup peluang pembacaan terhadap unsur lain seperti tasawwuf —mistik Islam17. Sarjana Barat Lain seperti Eickelman dan Roof menyuarakan pandangan yang sama tentang problem penafsiran Jawa ini; akibat kurangnya pemahaman tentang Islam18. Dalam sejarah Islam berkembang beberapa aliran pemikiran yang sama-sama tatap berada dalam koridor Islam —sufisme dan syari’ah. Baik Hodgson, Eickelman maupun Roof memandang tidak satupun aliran tersebut berhak untuk menyatakan sebagai yang paling otoritatif menyatakan keislaman, karena baik syariah dan sufisme sama-sama memiliki justifikasi dalam Islam19.
Studi fenomenologis Geerzt sebenarnya tidak mencukupi untuk digeneralisir menjadi sebuah pemahaman bahwa keseluruhan masyarakat Jawa terbelit dalam ketiga teorama tersebut. Setidaknya studi Robert Hefner yang memberikan perhatian pada masyarakat yang dianggap tidak islami di Tengger yang menemukan bukti bahwa masyarakat Tengger sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam20, atau studi Nakamura di Kotagede Yogyakarta dengan fokus keberadaan masyarakat Muhammadiyah yang menafsirkan kentalnya unsur-unsur Islam dalam sistem kepercayaaan masyarakat tersebut. Artinya studi Geerzt yang berlokasi Mojokuto dan Nakamura di Kotagede Yogyakarta memiliki kemungkinan sangat luas untuk menghasilkan pandangan dan penafsiran yang berbeda dikarenakan perbedaan cara pemahaman kejawaan dan keislaman dalam kedua masyarakat yang berbeda secara geografis.
Dalam pandangan lain, Mark Woodward dengan jelas menolak anggitan Geerzt bahwa Jawa tidaklah Islami. Bahkan bagi Woodward masyarakat Jawa merupakan pemeluk Islam yang paling kreatif menghubungkan kebudayaan dan struktur sosial terdahulunya dengan Islam sebagai unsur yang “baru” dalam sebuah struktur kebudayaan. Tradisi intelektual dan spiritual Islam di Jawa merupakan tradisi kreatif. Bagi Woodward terdapat kewajaran mengapa Islam Jawa sangat berbeda dengan keislaman Timur Tengah atau Jazirah Arab, letak geografis yang sangat menyulitkan komunikasi dan interaksi antar keduanya menyebabkan Islam di Jawa berkembang dengan model dan coraknya sendiri tanpa harus menjadikan Arab sebagai patokan dominan. Islam Jawa telah memberikan sumbangsih terhadap pemikiran tertentu kepada dunia intelektual Islam. Woodward melihat bahwa tradisi mistik Jawa memberi sumbangsih bentuk sufisme lain dengan corak berbeda dengan yang berkembang di belahan lain di Dunia Arab. Tradisi sufisme Jawa banyak berbeda dengan mainstream sufisme yang berkembang di wilayah lain. Bagi Woodward juga, kelompok santri merepresentasikan bentuk keislaman yang cukup kuat dengan fondasi syariah. Secara epistimologis, pandangan Woodward ini berangkat dari pandangan bahwa Islam lebih merupakan tradisi yang mengejawantah dari hubungan antara teks suci, sunnah dan kondisi historis. Prinsip Harmoni adalah prinsip yang dikedepankan oleh masyarakat Jawa. Untuk itu setiap perbedaan akan diarahkan pada pencapaian harmoni yang lebih tinggi yakni harmoni masyarakat —kemapanan21. Istilah Slametan dan kenduren merupakan salah satu bentuk penjagaan harmoni yang dipercaya merupakan bentuk warisan temurun dari nenek moyang Jawa pra-Hindu. Sistem tanda yang dibangun dalam slametan dan kenduren merepresentasikan sistem makna tertentu. Tumpeng beserta ubu rampe adalah sebuah penanda atas wawasan makna dan filosofi keberagamaan serta pandangan dunia —world view— yang terbangun dengan asas harmonisasi. Merujuk semiotika Ricoeur, tanda dalam sebuah mitos merepresentasikan sebuah angan-angan sosial sebagai sebuah petanda. Mitos tidak dapat didekati melalui interpretasi historis atas maknanya. Suatu mitos harus dipahami dengan mencari petanda-petanda —berupa makna-makna— yang menjadi unsur utamanya. Anantaboga misalnya. Mitos ini menceriterakan keberadaan seekor ular Batara Guru yang bertapa di bawah bumi. Setiap darah yang menetes dari perseteruan manusia akan meresap ke dalam tanah dan menyentuh kulit sang ular. Rasa sakit akibat terkena darah manusia akan membuat Anantaboga menggeliat dan bergerak yang menimbulkan gempa di permukaan bumi. Kebenaran ilmiah dan historis atas fenomena gempa bumi telah diketemukan. Gempa adalah gejala alam baik yang ditimbulkan pergeseran lempeng bumi maupun akibat aktifitas gunung berapi (vulkanik). Kemudian, bagaimana menyatakan kebenaran mitos yang telah dipercaya turun-temurun tersebut? Pada konteks inilah pandangan dalam semiotika Ricoeur menemukan ruang aplikasi. Anantaboga seyogyanya diartikan sebagai sebuah angan-angan sosial yang membangun makna betapa buruk dan berbahayanya suatu pertikaian.
Penutup
Perbincangan tentang Islam Jawa adalah sebuah ruang dinamis. Artinya, masih terbuka berbagai kemungkinan terciptanya temuan dan interpretasi teranyar tentang sebuah masyarakat yang begitu diminati oleh banyak sejarawan, antropolog dan sosiolog ini. Tulisan ini hanya bagian terkecil dari perbincangan tersebut. Tulisan ini diarahkan guna memerkaya perspektif tentang pelbagai teori yang meliputi sejarah kebudayaan Jawa. Sebagian teori dan pandangan lain belumlah terungkap dalam tulisan ini yang membutuhkan perhatian khusus untuk mendalaminya.
Yogyakarta, 12 November 2007
————————————-
[1] Babad Tanah Djawi, De Prozaversie Van Ngabehi Kertanegara Ingeleid door JJ Ras, diedit oleh JJ Ras. Koninklijk Instituut voor Taal, Leiden: 1987. hal 7
[2] Agama menjadi salah satu kunci utama untuk memasuki studi sejarah dan kebudayaan Jawa. Agama —kepercayaan— menjadi sebuah model penggerak bagi kerajaan-kerajaan di Jawa dan masyarakat Jawa secara lebih umum. Lihat PJ, Zoetmoelder, “Makna Kajian Kebudayaan dan Agama bagi Historiografi Indonesia”, dalam Soedjatmoko. (ed) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1995), hal 288-304
[3] Mandala adalah tempat atau kuil tempat perhunian kelompok rohaniawan Hindu dan dapat juga diartikan sebagai sebuah komunitas agama. Istilah mandala sebenarnya merupakan sebuah sistem politik geografis pada masa kerajaan di Jawa. Seorang Raja memberikan hak khusus kepada para rohaniawan Budha dan Hindu serta para birokrat kerajaan untuk menjadi wakil pada wilayah geografis tertentu. Pemberian hak khusus ini sebagai upaya pelanggengan kekuasaan yang mendapat topangan dari kaum pimpinan keagamaan. Komunitas agama (mandala) sangat tergantung pada kesatuan dharma atau tanah yang dikelola oleh rohaniawan yang mengabdi pada kerajaan.
[4] Lihat Hendro Prasetyo “Mengislamkan” Orang Jawa: Antropologi Baru Islam Indonesia”, Jurnal Islamika No 3 edisi Januari-Maret. Jakarta, 1994, hal 75
[5] Istilah mancapat merupakan konsepsi ruang arkhaik dalam masyarakat Jawa. Pat berasal dari kata empat dan tempat yang mengisyaratkan empat unsur utama yang membangun semesta. Terdapat klasifikasi yang terbangun dari konsep lima mata angin termasuk sisi pusat dari keempat lainnya. Klasifikasi empat mata angin mengandaikan adanya titik di antara hubungan empat mata angin utara, selatan, timur, dan barat (lor, kidul, wetan dan kulon). Konsepsi tata ruang mandala ini membentuk konfigurasi tata pedesaan yang dikelilingi empat desa lainnya pada setiap arah mata angin dengan desa tersebut sebagai pusatnya. Hubungan tradisional masyarakat desa lebih terfokus pada keempat desa yang mengelilingi desa masyarakat tersebut. Konsepsi ini lebih merupakan konsepsi tata ruang agraris sehingga sedikit mengalami kemunduran di wilayah-wilayah perdagangan tertentu seperti Tuban pada Zaman Majapahit yang memiliki masyarakat yang lebih heterogen karena pola perdagangan dan persentuhan dagang dengan berbagai pendatang. Konsepsi ini juga membangun konsepsi politik tentang pusat dari kekuasaan adalah kerajaan. Kerajaan memiliki hubungan dengan penguasa (dewa) empat mata angin dengan kerajaan sebagai titik yang mewakili kekuasaan dewa-dewa di bumi. Bahkan dalam kekuasan kerajaan Hindu ortodoks para raja dinilai sebagai titisan dewa-dewa tertentu, seperti Airlangga yang dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu.
[6] Lihat Danys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku III. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996. Hal 100
[7] Istilah petungan menunjukkan bentuk sifat-sifat asali manusia, bakat individu, etika kehidupan sosial, ketentuan nasib dan konsep asli tentang takdir manusia.
[8] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit.,hal 75
[9] ibid
[10] Yuga berarti zaman, sedangkan kaliyuga berarti zaman kebobrokan. Yuga secara kosmogonik merupakan sebuah siklus mistis yang mencakup ritme penciptaan dan kehancuran kosmis. Mahayuga adalah istilah yang merangkum empat putaran yuga, yakni; Krta Yuga,Treta Yuga, Dvapara Yuga,dan Kaliyuga. Lihat Mircea Eliade, Mitos Gerak yang Abadi: Mitos dan Sejarah. Ikon Teralitera: Yogyakarta, 2002. hal 118-119. Pada kepercayaan lain di Jawa, menurut Jangka Jayabaya akan datang era kalabhendu atau era ketidakteraturan. Ramalan Jangka Jayabaya inilah yang dipercaya lebih dipengaruhi oleh kepercayaan Yuga dalam tradisi Hindu India. Sebagai perbandingan lihat pula Shindunata, Zaman Edan: Manuke-manuke Cucak Rowo…Basis, No 9-10 edisi September-Oktober. Yogyakarta, Kanisius 2005. hal 12.
[11] Sadwara Istilah Sadwara berarti pekan yang terdiri dari enam hari; senin, selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Damais melihat konsepsi Sadwara maupun Pancawara merupakan sistem kebudayaan Jawa yang genuine dan tidak berkait dengan Indianisasi.
[12] Pancawara: Panca berarti lima dan wara berarti pecahan waktu yang berupa pahing, Pon, legi, kliwon wage
[13] Lihat L.C Damais, “Penaggalan Jawa Kuno”, dalam epigrafi….hal 141-149
[14] Lihat Sindhunata, “Zaman Edan: Manuke-manuke Cucak Rowo…Jurnal Basis No.9 edisi eptember Oktober. Yogyakarta, 2003. Hal 4-17. lihat pula sebagai pembanding G.W.J Drewes, Drie Javanesche Goeroe’s: Hun Leven Messias Prediking (Drukkerij A Vross: Leiden, 1925) hal 160-165
[15] Untuk lebih komprehensifnya pemahaman tentang klasifikasi ini ada baiknya untuk membaca detail karya Geerzt Religion of Java yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya, Jakarta, 1981. Bandingkan dengan karya lainnya yang membaca kondisi keberagamaan di Bali dalam Negera Teater: Kerajaan-kerajaan di Bali Abad kesembilan Belas, Bentang, Yogyakarta, 2000
[16] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., hal 75
[17] ibid hal 77
[18] ibid hal 81
[19] ibid
[20] Lihat Robert W. Hefner, ”Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. LKiS, Yogyakarta, 1999.
[21] Lihat Hendro Prasetyo, op. cit., hal 84-85


Read More......